Ada potensi besar bagi Indonesia untuk memanfaatkan ekonomi hijau. Setidaknya, pemerintah berambisi menciptakan 1,8 juta lapangan kerja baru dari ekonomi hijau pada tahun 2030.
Bappenas memproyeksikan beberapa sektor industri strategis yang mampu menyerap tenaga kerja adalah kendaraan listrik, energi bersih, reklamasi lahan, dan pengelolaan sampah. Upaya ini merupakan langkah berani jangka panjang untuk mendukung pertumbuhan PDB yang stabil sebesar 6%-6,5% per tahun dan mewujudkan visi menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045.
Gambar I. Potensi dan realisasi investasi hijau nasional (2024)
Meskipun terdapat potensi tersebut, terdapat hambatan bagi penyandang disabilitas untuk mengakses pekerjaan di ekonomi hijau. Setidaknya terdapat 22,97 juta penyandang disabilitas atau 8,5% dari total penduduk Indonesia yang membutuhkan perhatian lebih dari kita semua karena masih adanya akses eksklusif terhadap pekerjaan dan pelatihan dari sistem yang ada saat ini.
Ramah lingkungan, tidak cocok untuk penyandang disabilitas
Pekerjaan ramah lingkungan berfokus pada pengurangan emisi di seluruh aspek kehidupan kita, mulai dari apa yang kita konsumsi hingga cara kita melakukan mobilitas sehari-hari. Otomatis, lapangan kerja di ekonomi hijau memerlukan keterampilan dan keahlian yang tinggi.
Karena memerlukan keterampilan tingkat lanjut, peluang kerja di ekonomi hijau penuh dengan kemampuan mengelola teknologi atau keterampilan baru seperti jaringan dan organisasi yang luas. Keterampilan utama untuk pekerjaan ramah lingkungan juga mencakup kesadaran lingkungan dan kemauan untuk terus belajar tentang pembangunan berkelanjutan.
Penyandang disabilitas masih menghadapi hambatan besar dalam mengakses pelatihan kerja. Dari 305 Balai Latihan Kerja (WTC) yang tersedia, masih minim data dan informasi mengenai WTC mana saja yang memberikan pelatihan bagi penyandang disabilitas.
Sebagian besar BLK tersebut juga kekurangan sarana dan prasarana yang memadai untuk menyelenggarakan pelatihan inklusif. Studi PRAKARSA (2022) menemukan bahwa 90% pekerja penyandang disabilitas belum pernah menerima pelatihan keterampilan kerja.
Pelatihan yang diberikan BLK kepada penyandang disabilitas juga tidak memenuhi kebutuhan pekerjaan ramah lingkungan. Misalnya, sektor kendaraan listrik yang diperkirakan akan tumbuh pesat pada masa awal transisi hijau, yang kini terlihat dari banyaknya kendaraan listrik di jalan raya sehingga menimbulkan kebutuhan akan sumber daya manusia seperti mekanik.
Sayangnya, pelatihan kerja di bidang ini masih minim. Sebagian besar pelatihan yang ditawarkan BLK berfokus pada sektor jasa seperti kuliner dan pijat. Ketidaksesuaian keterampilan ini dapat menjadi penghalang bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam sektor pekerjaan ramah lingkungan.
Di sisi lain, balai-balai rehabilitasi yang dikelola Kementerian Sosial justru menawarkan pelatihan komprehensif yang mencakup hard skill seperti pelatihan teknis dan soft skill seperti kerja sama tim dan keterampilan berorganisasi.
Namun pusat-pusat rehabilitasi tersebut biasanya hanya melayani jenis disabilitas tertentu, seperti kategori tunanetra, dan tidak menerima disabilitas ganda. Pusat rehabilitasi juga memiliki kuota terbatas dan durasi pelatihan lebih dari enam bulan. Selain memiliki jangkauan dan dampak yang minim, bentuk pelatihan ini juga tidak dapat memenuhi kebutuhan rekrutmen perusahaan yang membutuhkan kuota besar.
Pengalaman pelatihan juga tidak menjamin penyandang disabilitas akan mendapatkan pekerjaan. Hal ini disebabkan karena pemberi kerja tidak memberikan informasi yang cukup mengenai lowongan kerja dan minimnya pemahaman mengenai disabilitas di tempat kerja. Oleh karena itu, program pelatihan bagi penyandang disabilitas juga harus memiliki skema tenor atau pembagian kerja.
Amanat yang berhasil
Salah satu fase paling umum dalam ekonomi hijau adalah transisi energi. Transisi energi tidak hanya mendorong sistem energi berkelanjutan tetapi juga transformasi struktur ekonomi dan sosial secara luas. Transisi ekonomi hijau bertujuan untuk mencapai kehidupan yang layak dan bermartabat bagi semua orang sesuai dengan prinsip “tidak ada yang tertinggal”.
Indonesia sendiri sebenarnya sudah memiliki peraturan mengenai penyelenggaraan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di bidang ketenagakerjaan. Peraturan tersebut menawarkan layanan seperti konseling bagi penyandang disabilitas yang sedang mencari pekerjaan, serta bantuan dalam menghubungkan pemberi kerja dan penyandang disabilitas yang sedang mencari pekerjaan.
Gambar II. Indonesia harus mampu mencapai pertumbuhan minimal 6% per tahun untuk menjadi negara maju pada tahun 2045. Ekonomi hijau menjadi salah satu instrumen untuk mencapai hal tersebut. SUMBER: BAPPENAS.
Namun permasalahan seperti minimnya anggaran untuk keberadaan dan operasional ULD yang masih terpusat di kantor-kantor di tingkat provinsi membuat akses sulit bagi banyak penyandang disabilitas. Di sisi lain, untuk memastikan bahwa pelatihan memberikan manfaat bagi penyandang disabilitas, pemerintah harus secara aktif mempromosikan pasar tenaga kerja ramah lingkungan dengan dasar yang adil.
Indonesia telah mengadopsi undang-undang tentang penyandang disabilitas yang mensyaratkan kuota kerja minimum bagi penyandang disabilitas sebesar 1% untuk sektor publik dan 2% untuk sektor swasta. Namun sayangnya, penerapan kebijakan ini tidak memiliki sistem pemantauan dan evaluasi yang jelas. Survei PRAKARSA tahun 2022 menunjukkan penerapan kuota minimal lapangan kerja bagi penyandang disabilitas belum masuk dalam poin pengawasan perusahaan.
Kurangnya pengawasan menyebabkan sulitnya mencapai kebutuhan untuk mempekerjakan penyandang disabilitas. Solusinya, selain menerapkan pengawasan yang optimal, negara juga harus menerapkan insentif jangka panjang bagi perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas.
Perlunya pelatihan kerja yang inklusif tidak hanya terbatas pada peningkatan keterampilan para penyandang disabilitas yang ada, namun juga dapat ditujukan untuk melatih individu yang menjadi penyandang disabilitas akibat kecelakaan kerja. Pelatihan kerja inklusif dapat mendukung proses transisi mereka dan memastikan mereka tetap kompetitif di pasar tenaga kerja, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Pembukaan Kerja.
Berbagai referensi kajian tersedia
Sebagaimana diketahui, pengembangan ekonomi hijau juga diperlukan karena topik ini merupakan kelanjutan sejati dari kesepakatan global mengenai tujuan pembangunan berkelanjutan mulai tahun 2015. Kewajiban ini harus dilaksanakan oleh negara-negara sebagai warga dunia.
Alhasil, semua negara berlomba-lomba menerapkan komitmennya terhadap ekonomi hijau dan tingkat inklusivitas yang tinggi terhadap penyandang disabilitas. Kebijakan lonebidrag di Swedia, misalnya, menawarkan bantuan renovasi aksesibilitas kepada perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas pada tahun pertama bekerja. Inisiatif-inisiatif tersebut merupakan investasi berkelanjutan yang dapat mendorong perusahaan untuk mempekerjakan penyandang disabilitas dalam jangka panjang.
Tak hanya negara maju, negara berkembang seperti Brazil juga selangkah lebih maju dari Indonesia. Inisiasi Program Aksi Inklusif (PSAI) di Brazil menyediakan sertifikasi keterampilan bagi penyandang disabilitas dan jalur magang. PSAI ini dapat memberikan peluang bagi pengusaha untuk memahami konteks disabilitas di tempat kerja, yang pada akhirnya meningkatkan peluang kerja bagi penyandang disabilitas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mencapai tingkat inklusifitas seratus persen di sektor perekonomian memang sulit. Saat ini, indeks skor ekonomi hijau Indonesia berada pada angka 41/100. Terlepas dari sektor ekonomi hijau yang masih tergolong baru, rasio inklusivitas yang sempurna di sektor transportasi belum tercapai, bahkan di fasilitas transportasi metropolitan Jabodetabek.
Sinergi dan komitmen yang tinggi antar seluruh pemangku kepentingan diperlukan untuk menciptakan iklim ekonomi hijau yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Penyandang disabilitas, selain negara menyadari hak asasinya, tetap bisa mencapai kesuksesan jika diberikan kesempatan yang memadai dan setara.