Kajian global dan nasional menunjukkan bahwa banyak anak muda generasi Z (Gen Z) dan milenial yang sangat peduli terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim. Gen Z adalah kelompok populasi global yang lahir antara tahun 1998-2012, sedangkan generasi Milenial lahir antara tahun 1981-1995.
Tingkat kecemasan mereka terhadap keadaan bumi saat ini lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, seperti Generasi X (1965-1989) dan Baby Boomers (1946-1964).
Keadaan ini menyebabkan aksi iklim yang sangat kuat dilakukan oleh generasi muda Generasi Z dan Milenial dibandingkan dengan generasi tua. Bahkan, aksi tersebut juga melahirkan meme “Ok Boomer”, yang merupakan sindiran sebagian anak muda terhadap generasi tua yang dianggap kolot dalam melakukan aksi, termasuk aksi iklim.
Sayangnya, sindiran tersebut justru menimbulkan perasaan dan tindakan saling bersalah antargenerasi. Generasi muda percaya bahwa generasi tua telah merusak lingkungan dan memperburuk perubahan iklim. Generasi tua juga dinilai lamban dalam mengatasinya.
Sementara generasi tua mengeluhkan generasi muda yang mereka anggap “mentalnya lembek” dan hanya suka bermain gadget. Mereka juga kerap “menyuruh” generasi muda untuk mengambil tindakan dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan.
Membawa sentimen generasi terhadap isu perubahan iklim tidak menyederhanakan masalah. Banyak faktor yang pada akhirnya luput dari pertimbangan ketika kita melihat akar penyebab krisis iklim dan dampaknya.
Meskipun meme yang bersifat satir meningkatkan keterpaparan masyarakat terhadap isu-isu lingkungan hidup, perbincangan semacam ini justru dapat mengalihkan fokus masyarakat terhadap cara menghadapi perubahan iklim.
Setiap generasi membutuhkan lebih banyak perbincangan tentang dampak perubahan iklim. Ketika mereka lebih banyak bicara, maka generasi-generasi perlu bersimpati dan melakukan dialog guna merumuskan aksi bersama secepatnya.
Generasi manakah yang paling menderita?
Peristiwa tidak menyenangkan akibat perubahan iklim, antara lain panas ekstrem, kebakaran hutan, angin puting beliung, banjir, dan gelombang besar telah menimbulkan kerugian bagi banyak orang di berbagai negara dan wilayah di Indonesia. Namun pengalaman kejadian dan bencana antar generasi jelas berbeda
Generasi Z yang lahir antara tahun 1998-2012 tumbuh dalam situasi dimana suhu bumi setidaknya 0,5°C lebih hangat dibandingkan era pra-industri (1850-an), dibandingkan dengan generasi baby boomer yang lahir antara tahun 1948-1962. . Perbedaan ini terutama dirasakan oleh generasi Alpha yang lahir pada periode 2013-2022.
Garis kenaikan suhu bumi pada generasi sekarang. (Pusat Iklim)
Kedua generasi ini, termasuk generasi milenial yang lahir antara tahun 1981-1995, merupakan kelompok yang akan sangat merasakan dampak perubahan iklim di masa depan. Jika semua negara di dunia serius dan ambisius dalam mengurangi perubahan iklim (termasuk menghilangkan pembakaran batu bara), mereka akan menjalani sebagian besar hidup mereka di tengah peningkatan suhu bumi sebesar 1,5-2,4°C.
Semakin tinggi suhu di bumi, semakin besar pula kemalangan yang menimpa manusia. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental.
Sementara itu, dalam skenario yang sama, generasi baby boomer mengalami kenaikan suhu sebesar 1,9°C. Sebagai mayoritas penduduk lanjut usia, generasi Baby Boomer lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dalam waktu dekat, seperti panas terik, kebakaran hutan, tanah longsor, dan hujan ekstrem.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, situasi ini mungkin mempunyai dampak yang lebih mengkhawatirkan. Misalnya, generasi petani tua, mulai dari Gen X hingga Boomer, terpapar panas ekstrem di ladang dan cuaca yang tidak menentu. Hal ini berdampak pada kesehatan dan sumber penghidupan mereka.
Misalnya, generasi nelayan baby boomer di desa-desa pesisir Sumbawa tidak bisa disalahkan atas perubahan iklim. Sebaliknya, mereka justru menjadi korban.
Kasus lainnya, ada seorang pemuda yang terbukti menerima suap dari perusahaan perusak lingkungan sehingga memperburuk keadaan bumi.
Empati antargenerasi
Gawatnya situasi di Bumi saat ini seharusnya membuat kita menghabiskan lebih sedikit waktu untuk saling menyalahkan. Sebaliknya, setiap generasi perlu memahami bahwa perubahan iklim berdampak pada semua kelompok – berapapun usia mereka saat ini.
Generasi tua seperti Baby Boomers dan Gen di masa depan, situasinya terancam semakin buruk.
Di sisi lain, generasi muda juga harus menerima bahwa generasi tua sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Para lansia di negara-negara berkembang, dengan angka harapan hidup yang lebih pendek dibandingkan dengan negara-negara maju, mempunyai risiko terkena dampak kerusakan lingkungan berkali-kali lipat.
Mengingat permasalahan lingkungan hidup merupakan tanggung jawab seluruh umat manusia, maka empati antargenerasi sangat diperlukan untuk mengawali perbincangan bersama guna mengurangi “konflik” antargenerasi dan saling memperkuat untuk bertahan di tengah perubahan iklim.
Bekerja sama antar generasi juga dapat menghasilkan solusi yang lebih efektif dan komprehensif. Generasi Milenial dan Generasi Z dapat memperoleh saran dan mencari pengalaman dari generasi tua untuk merumuskan aksi iklim yang ditargetkan. Sementara itu, Boomers dan Jenderal
Dialog antargenerasi untuk saling memahami dan mencari solusi bersama sebenarnya telah dimulai di banyak tempat. Berbagai daerah di Indonesia, sebagai negara yang rawan terhadap berbagai krisis, hendaknya mulai dari sekarang dan membiasakan diri.