Prabovo-Gibran yang pencalonannya sebagai presiden dan wakil presiden menuai kontroversi, akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.
Untuk melindungi pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabovo yang berisi pertanyaan-pertanyaan penting yang muncul dari pemetaan kami dengan jaringan penulis TCID. Edisi kali ini juga mengulas 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, serta memberikan persiapan bagi Prabowo-Gibran dalam menjalankan tugasnya.
Ketiga peraih Nobel Ekonomi 2024 ini secara pribadi cukup sentimental bagi saya yang berkecimpung sebagai peneliti ekonomi. Karena saya ingat senior saya, guru dan salah satu ekonom favorit saya, mendiang 'bang' Faisal Basri. Beliaulah yang merekomendasikan saya untuk belajar dengan baik bersama tiga profesor ekonomi dari kampus di Amerika Serikat (AS) untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang makroekonomi.
Trio peraih Nobel Ekonomi 2024 adalah Daron Acemoglu (Turki-AS), Profesor Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi, Massachusetts Institute of Technology. Kedua, Simon Johnson, Profesor Ekonomi, Sloan School of Management, Massachusetts Institute of Technology. Ketiga, James Alan Robinson (UK-USA), Profesor Ekonomi, Harris School of Public Policy, University of Chicago.
Ketiganya, yang kemudian dikenal sebagai AJR, dikenal atas penelitian mendalam dan kajian mendalam mereka tentang bagaimana institusi membentuk dan memengaruhi kesejahteraan dalam pekerjaan mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia, 50% penduduk termiskin di dunia berpenghasilan kurang dari sepersepuluh total pendapatan dan hanya memiliki 2% dari total kekayaan bersih global.
Ketimpangan ini terutama disebabkan oleh kesenjangan antar negara, yang berkontribusi terhadap sekitar dua pertiga ketimpangan pendapatan global. Lalu timbul pertanyaan, mengapa negara-negara miskin tidak meniru saja apa yang telah dilakukan negara-negara kaya dan mengejar ketertinggalannya dari waktu ke waktu?
Pemikiran AJR membantu menjawab pertanyaan penting ini. Secara umum prinsip utama penelitiannya adalah bahwa kekayaan negara pada dasarnya dibentuk oleh lembaga-lembaga politik yang dapat juga diartikan sebagai negara.
Hubungan erat antara lembaga-lembaga politik dan ekonomi mengikuti suatu hierarki: lembaga-lembaga politik mempengaruhi lembaga-lembaga ekonomi, dan lembaga-lembaga ekonomi kemudian mempengaruhi hasil-hasil perekonomian.
Artikel ini menjelaskan tiga pembahasan utama – berdasarkan kiprah ketiganya dan refleksi kontribusi AJR bagi Indonesia, khususnya terkait lembaga antikorupsi – Komisi Pemberantasan Korupsi – sebagai produk dan warisan hasil reformasi politik. di akhir abad ke-20.
Institusi dan kemakmuran
Oleh karena itu, para ekonom telah lama menyadari pentingnya peran institusi dalam menciptakan kesejahteraan. Dalam konteks ini, pengertian institusi tidak lebih dari batasan yang dibuat oleh manusia (notional constraints), baik formal maupun informal, yang membentuk interaksi di bidang ekonomi dan politik – seperti yang dijelaskan oleh pemenang Hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1993, Douglas North. pidato Nobelnya tentang kinerja ekonomi dari waktu ke waktu.
Tantangan bagi ilmu ekonomi untuk menjelaskan hubungan sebab akibat antara institusi ekonomi dan kemakmuran, menempuh jalan yang tidak mudah. Namun, meskipun struktur institusi pada waktu dan tempat tertentu dibentuk oleh perkembangan sejarah yang kompleks, struktur tersebut juga mencerminkan pilihan yang disengaja dari pihak yang berkuasa untuk mencapai hasil ekonomi tertentu. Artinya institusi bersifat endogen atau berasal dari kekuatan internal.
Dalam dua karya penting The Colonial Origins of Comparative Development: An Empirical Investigation – American Economic Association (2002) dan Reversal of Fortune: Geography and Institutions in the Making of the Modern World Income Distribution, AJR memperdalam studi tentang pengaruh institusi ekonomi terhadap kemakmuran ekonomi. Secara khusus, mereka menggunakan penelitian berbasis desain – atau eksperimen semu – yang menggunakan pengalaman kolonialisme Eropa sebagai “eksperimen alami”.
Secara empiris, studi ketiga menyelidiki secara empiris pentingnya dan kegigihan warisan kolonial bagi pembangunan ekonomi selanjutnya. Desain penelitian ketiga berpusat pada hipotesis yang didasarkan pada masa lalu bahwa lembaga-lembaga yang didirikan atau dikelola secara selektif oleh kekuasaan kolonial mempunyai dampak yang bertahan lama terhadap lembaga-lembaga politik dan ekonomi hingga saat ini.
Penelitiannya menunjukkan bahwa pengalaman kolonial mempunyai pengaruh besar terhadap kemakmuran jangka panjang. Jenis lembaga yang diterapkan oleh pemerintahan kolonial merupakan mekanisme utama, meskipun dampak pasti dari kualitas lembaga terhadap pendapatan tidak mudah untuk diukur.
Antara inklusif atau ekstraktif
Ketiga ekonom ini juga mengembangkan kerangka teori inovatif untuk abad ini yang menjelaskan mengapa sebagian masyarakat terjebak dalam perangkap lembaga ekstraktif, dan mengapa sangat sulit untuk keluar dari perangkap tersebut.
Namun mereka juga menjelaskan bahwa kemungkinan terjadinya perubahan tidak tertutup secara mutlak. Bahkan ada situasi yang dapat mendorong berdirinya lembaga-lembaga baru. Dalam beberapa situasi, suatu negara mungkin melepaskan diri dari lembaga-lembaga yang diwarisinya demi menjaga demokrasi dan supremasi hukum. Dalam jangka panjang, perubahan kelembagaan (negara) ini juga akan mengurangi kemiskinan.
Ciri-ciri institusi suatu negara bisa sama atau berlawanan. Misalnya, ada negara yang menjamin kesetaraan partisipasi politik dan hak milik pribadi bagi warganya (inklusif). Ada pula negara yang menutup partisipasi politik dan hak milik pribadi hanya pada segelintir kelompok tertentu (ekstraktif).
Alessandro Biascioli/shutterstock.
Khusus di bidang perekonomian, kajian AJR menjadi acuan kerangka dasar (framework thought) penentuan parameter kelembagaan perekonomian dalam negeri sebagai penentu kesejahteraan seluruh aktor di tanah air.
Cita-cita luhur untuk mensejahterakan masyarakat secara keseluruhan seringkali dihadang oleh institusi politik yang bersifat ekstraktif. Godaan terhadap mereka yang mempunyai kemampuan ekonomi lebih besar, mempunyai kekuasaan dan dapat mempengaruhi arah politik sesuai dengan kepentingannya, menjadi salah satu alasan paling umum mengapa kesejahteraan di suatu negara sulit dirasakan secara keseluruhan.
Hal ini terlihat jelas pada contoh liberalisasi peraturan perundang-undangan melalui UU Cipta Kerja yang justru memperkuat oligarki. Oligarki tidak lain adalah penguasa kekuatan politik, khususnya partai politik. Ini adalah gambaran institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif.
Relevansi masa lalu dan masa kini dengan Indonesia
Pemerintahan baru Presiden Prabov merencanakan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Sebuah target yang cukup ambisius di tengah gejolak situasi geopolitik dunia dan kawasan.
Tanpa pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan pembangunan politik yang demokratis, seperti yang diungkapkan Acemoglu dan Robinson dalam salah satu karya besar mereka, Why Nations Fail, target 8% hanyalah khayalan belaka.
Hamdi Bendali/Shutterstock.
Acemoglu dan Robinson dengan luwes melihat sejarah perdagangan di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1600-an melalui perdagangan rempah-rempah dari pulau Ambon dan Banda. Berdirinya VOC, perusahaan multinasional pertama di dunia yang mempunyai otoritas mendekati negara, semakin memperkuat cengkeraman kolonialisme Belanda melalui angkatan darat dan laut yang besar. Menariknya, VOC akhirnya bangkrut karena korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan korporasi akibat maraknya praktik korupsi yang menjadi salah satu rujukan utama akibat institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif.
Tantangan terbesar yang belum mampu dipecahkan oleh Indonesia adalah tingginya tingkat korupsi yang menggerogoti setiap sektor dan aspek pemerintahan. KPK sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan besar justru dikurangi kewenangan dan dukungan sumber dayanya.
Usulan pemerintahan baru yang akan dilantik pada pekan ini adalah untuk menguji keseriusan pemerintah dalam mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, dimulai dengan kemauan politik untuk mengembalikan PKC yang kuat, akuntabel, dan berorientasi pada kinerja dalam mencegah dan memberantas korupsi sekaligus. waktu.