Childfree lifestyle – keputusan seseorang untuk tidak memiliki anak setelah menikah – sedang menjadi perbincangan di kalangan anak muda di Indonesia. Hal ini mencerminkan perubahan budaya dalam cara mereka memahami peran keluarga dan aspirasi gender.
Masyarakat Indonesia menempatkan pernikahan dan peran sebagai ibu sebagai identitas perempuan yang membentuk norma sosial tentang keluarga dan peran gender. Namun paparan ideologi globalisasi dan keberadaan media sosial membuat mereka mempertanyakan norma sosial tersebut. Bahkan, mereka mulai mendukung pandangan alternatif lain, seperti pilihan hidup dan kebebasan individu.
Melalui Instagram, Gita dan Andrea berbagi pengalamannya tanpa anak, sekaligus menciptakan ruang berdiskusi dan bertukar pikiran, khususnya mengenai topik anak merdeka. Mereka menggunakan platform ini untuk berbagi narasi progresif yang membahas topik sensitif tanpa mengkhawatirkan stigma sosial.
Perbincangan di kedua akun Instagram tersebut mencerminkan bahwa generasi muda saat ini semakin mengutamakan karir, pendidikan, dan pengembangan diri dibandingkan memulai sebuah keluarga – mencoba mendobrak standar tradisional yang menganggap kesuksesan dicapai melalui institusi pernikahan.
Hal ini membuktikan bagaimana platform media sosial dapat menghasilkan percakapan yang menantang norma-norma sosial tradisional, membuka peluang bagi generasi muda untuk memilih jalan hidup non-normatif dan mendukung kebebasan untuk membuat pilihan yang berbeda.
Pada akhirnya, keputusan-keputusan yang diambil oleh generasi muda yang “terekspos” dengan media sosial akan berdampak pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan, seperti dampak terhadap angka kelahiran, angka pernikahan dan perceraian, serta akan berdampak pada kualitas hidup. pendidikan dan sumber daya di masa depan.
Media sosial sebagai arena pertarungan ideologi
Selain berfungsi sebagai ruang kebebasan berpikir, platform media sosial juga bisa menjadi arena pertarungan ideologi.
Di akun Instagram Geeta Savitri dan Andrea Gunavan, kolom komentar pun menjadi ajang perdebatan netizen terkait nilai gender dan peran keluarga. Hal ini juga menunjukkan bahwa keputusan mengenai kebebasan anak masih menjadi kontroversi di masyarakat. Banyak pengikut Instagram kedua orang berpengaruh tersebut yang mengungkapkan ketidaksenangannya terhadap keputusan Gita dan menilai hal tersebut melanggar norma yang ada.
Sumber: Komentar netizen di salah satu postingan Gita Savitri.
Sumber: Komentar netizen di salah satu postingan Andrea Gunawan @catwomanizer.
Sebanyak 50% pengikut akun Geeta Savitri berkomentar bahwa menghindari peran sebagai ibu sangat bertentangan dengan pandangan tradisional masyarakat yang meyakini bahwa fungsi sosial perempuan adalah mengasuh anak. Reaksi ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh warisan imajinasi state motherhood yang muncul pada masa rezim Orde Baru dan masih mengakar kuat hingga saat ini.
Menurut Julia Suriakusumah, seorang aktivis dan penulis, meski rezim berkuasa dua dekade lalu, ekspektasi gender ini terus berlanjut dan memengaruhi persepsi masyarakat, terutama di kalangan mereka yang masih menganut nilai-nilai konvensional. Dalam kerangka tradisional ini, kontribusi perempuan terhadap masyarakat diukur melalui partisipasi mereka dalam reproduksi dan pengasuhan. Oleh karena itu, gagasan generasi muda memilih untuk tidak memiliki anak dipandang sebagai penolakan terhadap identitas budaya dan kewajiban keluarga.
Sumber: Komentar netizen di salah satu video Gita Savitri.
Komentar netizen di akun Instagram Gita dan Andrea sebagian besar menekankan ketakutan akan terkikisnya nilai-nilai kekeluargaan dan kohesi sosial. Mereka menilai, memilih untuk tidak memiliki anak merupakan upaya melawan struktur keluarga yang diidealkan selama puluhan tahun.
Komentar “tetapi di negara kita, tidak memiliki lebih sedikit anak adalah hal yang memalukan…walaupun” dan “Saya tidak mengerti. “Orang yang sudah menikah wajib punya anak, kalau tidak nanti kamu terlihat menyedihkan,” adalah dua contoh komentar negatif di postingan Gita tentang keputusannya untuk tidak memiliki anak. Komentar-komentar tersebut menunjukkan betapa konsep Ibuisme mengakar kuat dalam konstruksi norma gender, seolah-olah memiliki anak dan menjadi ibu adalah hal yang harus dipenuhi demi menjaga keberlangsungan generasi.
Pembengkokan struktur sosial
Diskusi seputar gaya hidup tanpa anak juga mencerminkan narasi yang lebih luas dalam budaya remaja. Hal ini menyoroti peran media sosial sebagai alat yang efektif untuk mengekspresikan pandangan tentang kehidupan dan menolak norma-norma sosial yang standar.
Generasi muda Indonesia, yang sedikit banyak telah terpapar tren global, semakin bersedia untuk terlibat dalam diskusi mengenai topik-topik yang dianggap tabu, termasuk keputusan untuk tidak mempunyai anak. Keterbukaan terhadap pandangan baru ini menandai perubahan budaya yang penting dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat secara perlahan menegosiasikan struktur sosial yang lebih kaku dengan pandangan yang lebih progresif mengenai gender dan norma keluarga.
Meski ada penolakan terhadap keputusan tersebut, keadaan ini menunjukkan adanya transformasi budaya di kalangan generasi muda yang semakin mempertanyakan konstruksi sosial keluarga dan gender. Memilih untuk memiliki anak lajang bagi sebagian besar dari mereka merupakan respons praktis terhadap tantangan kehidupan saat ini, seperti ketidakpastian ekonomi, meningkatnya biaya hidup dan kekhawatiran terhadap isu-isu lingkungan. Faktor-faktor ini membangun perspektif baru tentang cara-cara alternatif untuk menemukan makna dan kebahagiaan di luar pernikahan dan melahirkan anak.
Pergeseran perspektif dalam diskusi media sosial ini menunjukkan perlunya evaluasi kritis terhadap norma-norma tradisional mengenai gender dan aspirasi keluarga.
Pilihan terhadap anak merdeka hendaknya dilihat sebagai pilihan yang masuk akal dan tidak lagi dipandang sebagai kegagalan individu dalam meneruskan keturunannya. Keputusan ini sama baiknya dengan pilihan mempunyai anak, mengangkat anak dan berbagai alternatif lainnya. Menerima beragam pilihan ini mungkin bisa menjadi awal dari keterbukaan masyarakat terhadap inklusifitas dan demokratisasi gaya hidup di Indonesia, yang tidak hanya terlihat dalam diskusi media sosial, namun juga dalam kehidupan nyata.