Masyarakat adat mempunyai hak untuk menyetujui atau menolak kehadiran perusahaan tanpa adanya paksaan di wilayahnya melalui musyawarah setelah pihak perusahaan menjelaskan rencana bisnisnya secara transparan. Hal ini merupakan bagian dari prinsip free, prior and informed consent (FPIC), atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan prinsip free, prior and informed consent (FPIC).
Prinsip ini diakui secara global dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Pengakuan tersebut tidak lepas dari perjuangan masyarakat adat di dunia, termasuk Indonesia. Hak-hak yang terkandung dalam UNDRIP meliputi penentuan nasib sendiri, partisipasi dalam pengambilan keputusan, penghormatan dan perlindungan budaya, kesetaraan dan non-diskriminasi.
FPIC hadir untuk memastikan posisi masyarakat adat sebagai pemegang hak, bukan sebagai pelaku korporasi. Konsep pemangku kepentingan menyiratkan bahwa perusahaan berhak menduduki wilayah adat hanya dengan izin negara dan hanya dengan berkonsultasi dengan masyarakat adat. Perusahaan kemudian memberikan sebagian aset sosial perusahaan kepada masyarakat adat sebagai kompensasi atas tanah dan ruang hidup yang diambil.
Dengan demikian, berdasarkan literatur etika bisnis dan teori partisipasi, FPIC merupakan mekanisme yang lebih bijaksana dan partisipatif dibandingkan dengan praktik konsultasi dan iming-iming dana sosial perusahaan.
Namun, apakah penerapannya di lapangan bisa berjalan lancar? Jawabannya adalah tidak.
Tantangan penerapan FPIC
Saya merangkum setidaknya tiga tantangan FPIC dan merekomendasikan solusi berdasarkan tinjauan literatur terhadap temuan empiris di berbagai negara. Subyek penelitian saya adalah masyarakat adat yang berkonflik sistemik dengan negara dan beberapa perusahaan besar monokultur dan pertambangan. Konflik muncul akibat klaim sepihak negara atas wilayah adat dan sejumlah perusahaan yang beroperasi tanpa persetujuan mereka.
Tantangan tersebut juga saya tegaskan melalui penelitian lapangan yang berlangsung pada bulan Februari hingga Juli 2024 di beberapa komunitas adat anggota AMAN di wilayah Tano Batak (Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas, Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan, Aek Godang Tornauli, Ompu Ronggur Simanjun, Huta Lontung, Bies Batunagodang-Siatas-Sitonong, Ompu Duraham Simanjuntak Natumingka). Komunitas lain yang saya teliti ada di Kalimantan Timur (suku Balik Sepaku, Kutai Adat Lavas Sumping Laiang Kedang Ipil, Daiak Benuak Ohokng Sangokng Muara Tae) dan Maluku Utara (suku Isam/Pagu Kao-Malifut dan suku Savai Veda).
Sebagai referensi, saya juga mencoba memperkuat penelitian tentang perlunya mekanisme FPIC yang dilakukan peneliti masyarakat adat maritim, Wengki Ariando, pada masyarakat Suku Laut, Kepulauan Riau.
Berikut adalah tiga temuan utama permasalahan dalam upaya penegakan FPIC.
1. Tidak ada dasar hukumnya
Meski sudah banyak pemerintah daerah yang mengeluarkan peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, namun kekuatan hukumnya belum bisa disamakan dengan legalitas perusahaan yang berasal dari pusat. Meningkatnya kolusi antara pengusaha dan penguasa di Indonesia juga mempersulit pengesahan undang-undang.
2. Penerapan FPIC serampangan dan penuh korupsi
Sekalipun perusahaan menerapkan FPIC bersama masyarakat, proses penerapannya sering kali hanya bersifat seremonial. Selain itu, banyak tindakan halus yang membungkam suara kolektif masyarakat adat dapat terjadi selama proses tersebut.
Perusahaan dapat mempengaruhi tokoh masyarakat adat dan tetua desa untuk memberikan persetujuan dengan mengaku mewakili seluruh anggota masyarakat. Mereka menjanjikan berbagai kompensasi yang dibagikan hanya kepada orang-orang tertentu.
Kasus ini terjadi di beberapa komunitas adat di Tano Batak yang berhadapan dengan PT. Toba Pulp Lestari, mengakhiri hubungan mereka.
Perusahaan juga sering mempengaruhi pilihan tokoh masyarakat dan tetua desa yang bersedia mendukung kepentingan perusahaan. Rezim ini sering menimbulkan konflik internal.
Misalnya saja masyarakat adat Benuak Muara Tae di Kalimantan Timur yang mengalami konflik horizontal hingga akhirnya melakukan ritual sumpah adat meminta pembaharuan kepada Sang Pencipta dan leluhur. Konflik horizontal suku Isam/Pagu di Maluku Utara yang terjadi saat berhadapan dengan PT. Mineral Nusantara Halmahera adalah contoh lainnya.
Cara halus lainnya adalah dengan melihat perusahaan yang tidak menyetujui kehadiran masyarakat adat hanya sebagai sudut pandang berbeda yang bisa dinegosiasikan, bukan sebagai ekspresi kedaulatan yang harus dihormati. Prosedur PADIATAPA PT. Toba Pulp Lestari yang lebih mengutamakan metode konsultatif dalam menyelesaikan perselisihan untuk menegakkan kehendak perusahaan adalah salah satu contohnya.
3. Berbagai aksi teroris
Setelah adanya tindakan suap, perusahaan seringkali berkolusi dengan aparat keamanan untuk mengkriminalisasi anggota masyarakat adat. Jangan lupa, preman juga disewa untuk mengintimidasi mereka agar menyetujui kehadiran perusahaan.
Sejak orde baru, laju penerbitan izin pengusahaan lahan kepada korporasi sangat pesat. Parahnya, pemerintah hanya memberikan 95% konsesi kepada segelintir orang saja.
Berdasarkan kajian terbaru AMAN, dari 687 konflik agraria sepanjang 2014-2024, sebanyak 925 masyarakat adat mengalami kriminalisasi. Yakni 60 orang di antaranya mengalami kekerasan dan satu orang meninggal dunia. Batasan antara fungsi keamanan publik dan swasta menjadi kabur sehingga proses pemenuhan FPIC tidak lagi demokratis, namun bernuansa paksaan.
Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan
Tak heran, jika kita sering mendengar seruan para aktivis masyarakat adat “Tidak ada keputusan tanpa kita!” ketika berselisih dengan entitas ekstraktif. Panggilan ini adalah akibat dari masalah lama yang belum terselesaikan dengan baik.
Ada beberapa solusi untuk mengatasi tantangan tersebut.
Pertama, DPR harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat bersama pemerintah untuk menjamin hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Landasan undang-undang ini merupakan kunci untuk menjamin hak masyarakat adat untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika kedua belah pihak tidak sepakat, maka masyarakat adat tetap mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Mereka dapat dilindungi ketika mereka melakukan pekerjaan tradisional (misalnya: petani hutan, petani dan nelayan) sesuai dengan Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) no. 169.
Kedua, perusahaan di Indonesia harus memasukkan FPIC sebagai salah satu indikator utama kinerja lingkungan, sosial dan manajemen. Indikator ini dapat menggantikan dana CSR yang sering dijadikan “permen manis” untuk mengadu domba masyarakat adat dan memanipulasi kesepakatan.
Terlebih lagi, seperti yang telah dilakukan AMAN selama ini, masyarakat adat secara mandiri terus memperkuat konsolidasi, melakukan pendidikan hukum yang kritis, dan membangun kepemimpinan masyarakat yang bertanggung jawab. Mereka juga memastikan keterlibatan perempuan dan pemuda dalam pengambilan keputusan dan memperkuat jaringan dengan organisasi mitra terkait.
Kami berharap masyarakat adat memiliki kesadaran kritis dan dukungan kuat dari jaringan advokasi dalam proses FPIC bersama perusahaan.
Ketiga, pemerintah harus segera melaksanakan reforma agraria untuk mengurangi kekuasaan korporasi atas kelebihan tanah dan mengembalikan wilayah adat kepada pemiliknya. Dengan begitu, kekuasaan korporasi yang berujung pada praktik korupsi, termasuk kolusi dengan aparat keamanan, bisa dikurangi secara signifikan.
Pemerintah harus menegakkan hukum terhadap korporasi yang melanggar hak masyarakat adat. Pemerintah juga harus memberikan hukuman kepada oknum pejabat yang menjadi 'penipu' korporasi dan tidak menjalankan perannya sebagai pengayom masyarakat.
Keempat, agar dapat menerapkan kebijakan tersebut secara berkelanjutan, perguruan tinggi di Indonesia, khususnya fakultas bisnis, harus mempertimbangkan untuk menyediakan materi pembelajaran tentang FPIC dan kritik terhadap dana sosial perusahaan. Hal ini penting bagi pengambil keputusan perusahaan di masa depan untuk memahami hak asasi masyarakat adat dalam pembangunan dan pengambilan keputusan perusahaan.
Pada akhirnya, masyarakat adat adalah salah satu pilar harapan kita untuk negara yang adil dan berkelanjutan. Menghormati hak asasi manusia, termasuk FPIC, berarti memupuk harapan tersebut di tengah krisis sosio-ekologis yang semakin mengkhawatirkan.