Euforia kembalinya 288 benda budaya Indonesia dari Belanda tengah dirasakan masyarakat Indonesia, setelah sebelumnya pada tahun 2023 terdapat 472 benda budaya yang dikembalikan – hasil repatriasi koleksi Museum Kepulauan Delft.
Repatriasi adalah pengembalian benda seni atau budaya ke negara asal budaya. Contoh paling mudah dari proses repatriasi ini adalah pengembalian benda-benda budaya yang dibawa ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada masa penjajahan. Benda-benda budaya tersebut dapat dikembalikan atas permintaan pemerintah negara pemiliknya atau atas “kemurahan hati” bekas penjajah untuk mengembalikan benda-benda budaya tersebut.
Namun sejarah panjang antara Indonesia dan Belanda seringkali membuat kita berpikir bahwa benda budaya Indonesia di luar negeri hanya ada di Belanda.
Bahkan benda-benda budaya Indonesia juga banyak tersebar di berbagai museum etnografi, khususnya di Amerika Utara dan Eropa, termasuk museum di Italia.
Saat penulis mengunjungi Museum Palaeobotani dan Etnobotani di Naples, Italia, misalnya, terdapat koleksi perahu kecil, bubu, dan jaring milik suku Sakai dan Bonai. Koleksi ini dikumpulkan oleh antropolog Dario Novelino pada tahun 1992 ketika ia mengunjungi Riau di Sumatera.
Jaring ikan dan perangkap ikan koleksi suku Sakai dan Bonai di Museum Paleobotani dan Etnobotani di Naples. Pensiun pada tahun 2024
Di sisi lain Italia, tepatnya di Museum Antropologi dan Etnologi Florentine, ratusan koleksi Nias, Batak, dan Mentawai disimpan dalam kotak kaca tebal. Pada tahun 1886, Elio Modigliani, seorang antropolog dari Florence, mengunjungi beberapa desa di Nias Selatan dan mengumpulkan berbagai koleksi fauna (yang dikirim ke Genoa) serta koleksi etnografi melalui pertukaran.
Koleksi etnografi di berbagai museum di Italia bukanlah koleksi yang ‘fenomenal’. Namun koleksi ini mencatat secara detail kehidupan suku Sakai, Bonai, dan Nias sehingga menghadirkan potret suku asli Indonesia yang jarang ditemukan di museum dalam negeri.
Perahu dan perangkap ikan koleksi suku Sakai dan Bonai di Museum Paleobotani dan Etnobotani di Napoli. Pensiun 2024 Rekor sejarah yang terlupakan
Koleksi di museum-museum di Italia merupakan benda-benda sehari-hari yang digunakan masyarakat pada masa lalu, seperti piring, cangkir bambu, perhiasan, perlengkapan perang, dan patung nenek moyang.
Ini sebenarnya adalah koleksi penting. Pasalnya, setelah terusir dari lingkungan aslinya dan tinggal di gubuk-gubuk pengungsian, suku Sakai terpaksa harus beradaptasi dengan cara hidup yang benar-benar berbeda. Tidak perlu lagi memancing, berenang, dan menjaring dengan perahu kecil untuk anak-anak Sakai.
Saat ini, sebagian besar masyarakat Sakai mengungsi dan terpaksa tinggal permanen. Mereka meninggalkan kehidupan semi nomaden dan berburu yang merupakan tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Hal ini sebenarnya banyak menimbulkan dampak negatif bagi generasi muda Sakai.
Nasib serupa sebelumnya juga dialami penduduk asli Nias bagian selatan. Misi keagamaan yang berkelanjutan yang dimulai pada tahun 1865 memaksa masyarakat Nias untuk meninggalkan kebiasaan lamanya. Puncaknya adalah peristiwa Fanga Sebu (Pertobatan Besar-besaran) pada tahun 1916-1930, ketika hampir seluruh penduduk asli Nia memeluk agama Kristen, yang disusul dengan penghancuran ikon-ikon keagamaan kuno, seperti patung kayu leluhur, dan pelarangan aktivitas pembuatan patung leluhur. patung.
Tak heran jika dalam penelitian lapangan saya di Nias Selatan tahun ini, ketika saya menunjukkan beberapa foto benda-benda Nias di Museum Antropologi dan Etnologi Florence, banyak anak muda bahkan orang tua yang sudah tidak lagi mengenal benda-benda etnografi tersebut. Situasi ini cukup mengkhawatirkan, mengingat koleksi etnografi merupakan ikatan akar budaya dan rasa identitas kolektif yang berasal dari tradisi leluhur.
Peta sementara sebaran koleksi Nias di museum-museum dunia. Pensiun 2024. Pemerintah selektif
Saat pemerintah Belanda “menawarkan” koleksi Museum Kepulauan Delft yang ditutup pada tahun 2013, terdapat 18.000 koleksi etnografi yang berpotensi dikembalikan. Setelah dikurangi koleksi yang dimiliki oleh pemerintah kota Delft (459), sekitar 500 koleksi untuk donor dan pemberi pinjaman, dan koleksi pemerintah Belanda (3194), mereka menawarkan sekitar 14.000 koleksi kepada pemerintah Indonesia.
Indonesia menyatakan persetujuannya melalui Direktur Jenderal Kebudayaan Kacung Marian pada tahun 2015. Pemerintah bahkan membangun gudang baru di dekat Taman Mini Indonesia Indah.
Namun posisi Indonesia berubah ketika Hilmar Farid menggantikan Kacung pada akhir tahun 2015. Setelah diskusi panjang dan penunjukan tim repatriasi, akhirnya Indonesia sepakat untuk memulangkan 1.500 barang saja. Tim beralasan tidak semua koleksi tersebut bermakna bagi masyarakat Indonesia.
Sebenarnya benda-benda budaya yang ditolak Indonesia tersebut diperebutkan dan disebarkan di beberapa museum di berbagai negara, mulai dari Belanda (9), Austria (1), Swedia (1), Singapura (1), Malaysia (1) dan Korea Selatan. (1).
Dalam konteks penelitian saya, Korea Selatan adalah destinasi yang paling menarik. Korea Selatan menerima 7.744 benda budaya Indonesia, termasuk 187 benda etnografi Nias, melalui Asian Cultural Center (ACC) di Gwangju. Saat ini, 400 item koleksinya dipamerkan dalam pameran permanen bertajuk “Dunia Terungkap oleh Musim Hujan: Kota Pelabuhan di Asia Tenggara”.
Sejauh ini, upaya repatriasi koleksi Nias sebagian besar dilakukan secara mandiri, tanpa bantuan pemerintah yang signifikan. Museum Pusaka Nias misalnya, terus melakukan upaya repatriasi koleksi Nias. Pada tahun 2007, museum ini menerima kembali koleksi oroba buaya atau pelindung kulit buaya dari kolektor pribadi, disusul pada tahun 2009 dengan pengembalian 30 item perhiasan dan patung leluhur dari Museum Volkenkunding Universitas Radboud di Nijmegen, Belanda. .
Koleksi yang dipulangkan itu dipajang di Museum Pusaka Nias. Pensiun pada tahun 2024
Hasil wawancara dengan pihak museum juga membenarkan bahwa mereka sedang menyelidiki repatriasi beberapa benda budaya Nias lainnya dari Jerman dan Belanda menggunakan jaringan gereja.
Masa depan koleksi etnografi Indonesia
Lalu apa yang harus kita lakukan? Haruskah kita mengembalikan seluruh koleksi etnografi Indonesia yang ada di Italia ke tanah air?
Dalam studi lapangan yang saya lakukan di Desa Bavomataluo dan Hilisimaetano, para pelaku budaya dan sejarawan lokal umumnya tidak keberatan dengan keberadaan koleksi Nias di berbagai museum di Eropa. Namun, mereka merasa narasi pameran dan penyajian koleksi Nias harus melibatkan masyarakat pemilik budaya aslinya.
Bahkan, pada September 2023 lalu, setelah saya memulai penelitian di Museum Antropologi dan Etnologi di Florence, mereka mengganti papan informasi bahwa Pulau Nias itu milik Indonesia, bukan Malaysia.
Perubahan label koleksi Nias dari Malaysia ke Indonesia (September 2023) di Museum Antropologi dan Etnologi Florence. Pensiun pada tahun 2024
Menurut Geger Rijant, antropolog Universitas Indonesia, terkadang benda budaya lebih bermakna jika dilestarikan oleh masyarakat dibandingkan di museum. Namun, dalam kasus benda-benda budaya Sakai, apa makna benda-benda tersebut bagi masyarakat Sakai yang kini terisolasi dari lingkungan asalnya? Jika patung nenek moyang Nias dikembalikan, peran apa yang akan dimainkannya dalam masyarakat “religius” saat ini?
Salah satu jalan tengah yang bisa diambil adalah dengan mengakui keberadaan dan pentingnya fasilitas diaspora Indonesia di berbagai negara di dunia.
Melalui pendataan, dokumentasi, dan pemberian akses terbuka, pemerintah dapat terus ‘melacak’ keberadaan benda-benda budaya Indonesia, sekaligus memberikan akses terbuka kepada para peneliti dan mahasiswa yang tertarik untuk mengeksplorasi benda-benda tersebut.
Program Pemetaan Budaya Material Filipina yang didukung oleh Studi Filipina di School of Oriental and African Studies (SOAS), Inggris, telah melakukannya. Sesuai dengan namanya, program ini bertujuan untuk melakukan inventarisasi digital terhadap benda-benda budaya Filipina, baik koleksi museum maupun koleksi pribadi, yang tersebar di luar negeri.
Gerakan dekolonisasi dan repatriasi menjadi tren di berbagai museum. Hal ini memberikan ruang bagi negara dan komunitas budaya untuk terlibat lebih dalam dengan koleksi mereka di negara lain.
Selain itu, pemerintah juga dapat mendekolonisasi koleksi etnografi Indonesia, seperti berbagi narasi dan membuka akses digital bagi masyarakat.
Dengan begitu, generasi penerus tetap bisa menelusuri dan mengetahui akar sejarah suku-suku asli Indonesia meski artefak fisiknya berada di luar negeri.