Pada Agustus 2024, gambar Garuda biru kobalt mengubah dunia maya di Indonesia menjadi biru. Isinya satu pesan: “Siaga Darurat Indonesia”. Pesan itu menyentuh ribuan orang. Mereka turun ke jalan di kota-kota besar untuk menggelar aksi demonstrasi, termasuk di Viba.
Veeaboo, dalam definisi paling sederhana, adalah subkultur di mana individu non-Jepang “jatuh cinta” dengan hampir semua hal mulai dari budaya Jepang, termasuk anime, manga, cosplay, hingga bahasa dan masakan. Hal ini sedikit berbeda dengan Otaku yang hanya menyukai anime dan manga Jepang saja.
Di Jakarta, salah satu pengunjuk rasa terlihat terengah-engah dan mengibarkan bendera hitam berlambang tengkorak menyeringai dan mengenakan topi jerami – lambang bajak laut di manga-anime One Piece – di luar gedung DPR/MPR RI.
Sementara itu di Yogyakarta terdengar teriakan “Ara, ara!” (yang artinya Ya Tuhan!) terdengar di speaker. Para pengunjuk rasa langsung merespons dengan riuh: “Rasengan-nya Jokowi!” (pusaran bola chakra di anime Naruto). Ucapan tentang mobil komando ini datang dari seorang pemuda asal Vibu.
Vibe people kerap mendapat stigma sebagai antisosial karena dianggap kurang bersosialisasi dan sering menyendiri sambil asyik dengan hobinya. Namun dalam gerakan tersebut mereka turun ke jalan bahkan berorasi. Aspirasi apa yang begitu mendesak sehingga para Wibu yakin bahwa situasi di Indonesia cukup kritis dan perlu direspon serius?
Sebagai peneliti kajian remaja, saya tergerak untuk mewawancarai salah satu anak muda Vibu di Yogyakarta yang memberikan sambutan di acara #JogjaMemanggil kemarin. Saya menemukan bahwa motif di balik keikutsertaan anak muda Vibu dalam demonstrasi menunjukkan potret kecil kebangkitan kesadaran politik di kalangan generasi muda yang juga banyak dipengaruhi oleh media sosial, khususnya dalam bentuk aktivisme digital.
Lebih dari serius
Aksi #YogjaPanggilan yang saya hadiri berlangsung berturut-turut pada tanggal 22, 27 hingga 29 Agustus. Ribuan pengunjuk rasa yang ikut terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari Persatuan Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro, perempuan migran, pekerja media, pekerja, pelajar, hingga generasi muda yang menganut subkultur Veeaboo.
Ran (nama samaran), mahasiswa film yang juga aktif sebagai disc jockey (DJ), dalam sambutannya mengatakan:
“Vibu dikenal sebagai orang yang ansos (anti sosial), saya vibu, saya ansos, tapi saya orang Indonesia! Kami Vibu selama ini bungkam terhadap situasi di Indonesia, namun kali ini kami tidak akan diam!”
Foto pemuda pengunjuk rasa Vibu dengan kostum DJ Marshmello (terinspirasi DJ Amerika Serikat) bersiap aksi Long March #JogjaMemanggi pada 27 Agustus 2024 Dok. kepribadian pengarang (M. Naufal Valudin)
Menurut Ran, situasi di Indonesia saat ini tidak serius. Dinasti politik Presiden Joko “Jokowi” Widodo dibangun secara terbuka, meski dengan mengelak dari berbagai aturan hukum. Menurutnya, Indonesia berpotensi berada di bawah kekuasaan satu keluarga saja, tak ubahnya dengan sistem monarki.
Belum lagi permasalahan sosial lainnya, seperti mahalnya biaya hidup, mahalnya biaya sekolah, dan ketimpangan pendapatan. Ran menjelaskan, sebagai pekerja di bidang industri kreatif yakni video editor, ia tidak bisa tinggal diam saja.
Jadi dia memutuskan untuk mengambil tindakan dan bertemu dengan dua teman Vibu lainnya. Dalam aksinya tersebut, Ran mengenakan atribut cosplay Marshmello sambil membawa styrofoam bertuliskan “Kami Kumbang Juga Khawatir” dan “Naruto Menjadi Hokage Tanpa Bantuan Ayahnya!”
Ran menambahkan, situasi saat ini diperburuk dengan munculnya dugaan munculnya buzzer-influencer yang dibayar pihak berwenang untuk menunjukkan bahwa Indonesia baik-baik saja. Faktanya, Indonesia masih memiliki sejumlah permasalahan yang perlu dikritisi, mulai dari politik dinasti, korupsi, nepotisme pejabat publik, UKT yang mahal, kerja keras, dan lain-lain.
Anime sebagai cermin, fandom sebagai modal sosial
Anime bagi para penggemarnya dapat menjadi cermin dan inspirasi dalam membaca realitas sosial. Ketika terkonsentrasi pada komunitas berbasis fandom, mereka dapat menjadi modal sosial untuk aksi kolektif. Contoh konkritnya misalnya aktivisme K-Pop pada RUU Omnibus dan krisis iklim hingga Vibu4Planet sebagai gerakan peduli terhadap bumi.
Simbol kemudian menjadi realitas intersubjektif atau biasa kita kenal dengan meme. Hal ini dapat menjadi modal sosial yang kuat dan potensial apabila dibarengi dengan semangat timbal balik dan solidaritas dalam hal-hal tertentu. Hubungan parasosial dengan idola atau seniman manga/pencipta anime, misalnya, juga bisa menjadi kekuatan bagi gerakan perlawanan dan bahkan pembangkangan sipil.
Ran menggambarkan situasi Indonesia saat ini mirip dengan anime berjudul Carole dan Tuesday. Anime ini memperlihatkan pemerintah Mars menindas musisi dan memenjarakan mereka tanpa alasan yang jelas.
Dua pengunjuk rasa di dekat garis polisi menggelar demonstrasi melukis “Turun” dengan berbagai ilustrasi dan poster dengan berbagai caption seperti “Turun dengan kedok solusi” dan “Hentikan kriminalisasi petani” (Yogjakarta, Aksi #YogjaMemanggil 27 Agustus 2024). Dermaga. kepribadian pengarang (M.Naufal Valudin)
Baginya, kondisinya tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, khususnya dalam hal penyalahgunaan kekuasaan. Sebut saja tragedi Kanjuruhan tahun 2022, kejadian miris yang belum terkuak tuntas ini merupakan contoh ketidakmampuan pemerintah Indonesia.
Ran juga mengatakan, usai aksi hari itu, sebuah lembaga pemerintah mengundangnya untuk ikut membuat konten. Namun, dia menolaknya dengan sopan. Ia mengaku malas berurusan dengan lembaga negara karena sudah tidak percaya lagi. Dia kini berada di kubu oposisi, tutupnya.
Keengganan Ran diwawancarai lembaga negara menunjukkan ketidakpercayaannya terhadap lembaga negara. Hal ini mencerminkan betapa frustasi dan kesalnya generasi muda terhadap birokrat dan politisi yang mengutamakan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Katakanlah dengan menculik dan mempermainkan konstitusi melalui “politik kartel” dan koalisi kental politisi-oligarki.
Pendapat Ran juga menunjukkan bagaimana kesadaran politik dapat disebarkan dan diperkuat melalui media sosial, sehingga melahirkan aktivisme digital serta demonstrasi langsung. Hal ini merupakan indikasi betapa besarnya kekacauan politik di Indonesia, sampai-sampai kelompok-kelompok sosial terkemuka tertentu turun ke jalan.
Kesadaran politik generasi muda
Selain isu Vibu Omladine, rangkaian aksi pada Agustus lalu mencerminkan potret positif. Salah satunya adalah bangkitnya kesadaran kritis terhadap situasi politik di masyarakat, khususnya di kalangan generasi muda yang dikatakan sedang terpuruk, bahkan mati suri.
Dengan situasi demokrasi Indonesia yang dinamis dan dengan “permainan” pemerintah, gagasan “politik kemarahan” kaum muda menjadi kekinian. Ungkapan tersebut mencerminkan rasa frustasi dan kemarahan generasi muda terhadap kondisi saat ini.
Kurangnya lapangan kerja, krisis iklim, korupsi, perpecahan politik, biaya pendidikan tinggi dan kebutuhan akan perumahan yang tidak aman semakin membuat generasi muda merasa tidak aman dan khawatir akan masa depan. Generasi muda punya banyak alasan rasional untuk marah.
Situasi ini semakin diperparah dengan gempuran kapitalisme neoliberal dan sifat serakah para penguasa di era Jokowi – runtuhnya kelas menengah, badai PHK, meroketnya harga properti dan tingginya biaya pendidikan, kerusakan lingkungan dan sebagainya.
Massa #YogjaPanggilan berbaris di depan garis polisi Gedung Agung sambil memegang poster aspirasinya (27 Agustus 2024). Dermaga. kepribadian pengarang (M.Naufal Valudin)
Wajar jika masyarakat saat ini dihantui oleh “mimpi buruk Orwellian”—sebuah ilustrasi tentang sifat tersembunyi dari otoritarianisme yang menumbuhkan ketidaktahuan, menormalisasi budaya ketakutan, pengondisian sistemik, kriminalisasi aktivis, politik korup, dan eksploitasi.
Dari kemarahan menjadi harapan
Namun, partisipasi ribuan generasi muda dalam aksi “Peringatan dalam Situasi Darurat” menunjukkan wajah yang berbeda, yakni “politik harapan” (the politics of hope).
Generasi muda, termasuk Wibu, menjalankan peran menegakkan konstitusi sebagai warga negara penuh melalui “partisipasi bermakna” dalam demokrasi. Di sini peralihan “dari kemarahan ke harapan” menjadi mungkin.
Namun kuncinya adalah: kepercayaan masyarakat terhadap sistem dan pemerintahan yang jujur, adil, dan tidak korup.
Di akhir wawancara, Ran meninggalkan pesan untuk rekan-rekan mudanya: “Kami tidak ingin dikendalikan oleh satu keluarga.” Kita tidak bisa menyerah. Jika kami terus berjuang, kami pasti akan menang.”