Prabovo-Gibran yang pencalonannya sebagai presiden dan wakil presiden menuai kontroversi, akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.
Untuk melindungi pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabovo yang berisi pertanyaan-pertanyaan penting yang muncul dari pemetaan kami dengan jaringan penulis TCID. Edisi kali ini juga mengulas 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, serta memberikan persiapan bagi Prabowo-Gibran dalam menjalankan tugasnya.
Oktober ini tidak hanya menjadi momentum pergantian rezim pemerintahan Indonesia, namun juga cerminan dinamika politik yang terjadi menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang tercatat mendapat kartu merah baik secara hukum maupun pidana. reformasi keadilan.
Tentu saja, ada beberapa langkah positif yang dilakukan pemerintah dalam reformasi hukum. Misalnya, pengesahan KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) – yang menggantikan KUHP lama warisan masa kolonial Belanda – merupakan tonggak penting bagi kemajuan hukum pidana di Indonesia. Pemerintahan Jokowi juga mengesahkan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang menjadi secercah harapan bagi korban kekerasan seksual.
Mantan Gubernur Solo juga mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) no. 17 Tahun 2022 yang mengacu pada Tim Non Yudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat sebagai wujud komitmen pemenuhan pemulihan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat tanpa mengabaikan proses peradilan yang sedang berjalan. resolusi.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat catatan-catatan kritis yang jauh lebih banyak lagi. Misalnya, meski sudah ada Perpres, namun tidak ada kasus pelanggaran HAM berat yang terselesaikan secara tuntas selama dua periode kepemimpinan Jokowi.
Tak hanya itu, variabel penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat pada Indeks Pembangunan Hukum 2022 menunjukkan skor sebesar 0,37 – masuk kategori buruk. Nilai yang rendah terutama terlihat pada aspek peradilan pidana dan pelaksanaan hak-hak dasar. Padahal, isu HAM di masa lalu selalu menjadi poin kampanye yang diusung Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019.
Sebagai penggantinya yang berikutnya, Prabovo Subianto – yang juga memiliki catatan buruk dalam pelanggaran hak asasi manusia – akan menghadapi tantangan berat dalam hal reformasi hukum.
Artikel ini akan menguraikan berbagai kritik terhadap lemahnya upaya reformasi sistem peradilan pidana di era Jokowi, yang dapat menjadi acuan bagi masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi reformasi peradilan dalam memantau kinerja pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo.
#Semua Bisa Terjadi
Kasus fenomenal Nenek Minah yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena “mencuri” tiga buah kakao dan kasus Baik Nuril pada tahun 2019 – korban pelecehan oleh atasannya yang sebenarnya dinyatakan bersalah melakukan pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE, menunjukkan betapa kita sebagai warga negara rentan terhadap interaksi dengan sistem.
Kita semua mempunyai potensi untuk menghadapi hukum, baik kita sebagai korban, saksi maupun pelaku/tersangka dalam sistem peradilan pidana.
Landak Jawa mengadakan pertemuan di Bali. Fikri Yusuf/Antara Foto
Kasus-kasus tersebut membuktikan bahwa peraturan hukum pidana Indonesia masih belum kuat memenuhi kebutuhan masyarakat, cenderung menjadikan masyarakat miskin dan kelompok rentan mudah dikriminalisasi, serta masih membuka ruang bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan sewenang-wenang.
Jika sistem peradilan pidana tidak berjalan secara akuntabel dan adil, maka mereka yang masuk ke dalam sistem peradilan pidana akan beresiko dianiaya, hak dan kualitas hidupnya dilanggar, atau bahkan, dalam kasus tertentu, malah hidup lebih jauh. kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum.
Indeks Akses terhadap Keadilan Indonesia tahun 2021 menunjukkan bahwa 54,4% dari 2.341 penduduk mengalami permasalahan hukum terkait kejahatan – dimana 80% di antaranya merupakan korban permasalahan hukum. Temuan Indeks Akses terhadap Keadilan juga mengungkapkan bahwa 73% masyarakat yang mempunyai permasalahan hukum mengalami dampak seperti kerugian psikologis, kerugian ekonomi/finansial, dan kerugian fisik.
Pengendalian kejahatan sudah ketinggalan zaman
Praktek yang dilakukan aparat penegak hukum saat ini sarat dengan pendekatan pengendalian kejahatan yang mengutip literatur klasik, seringkali mengabaikan asas praduga tak bersalah dan hak-hak tersangka dalam proses peradilan, serta memberikan kewenangan penegakan hukum yang sangat besar kepada polisi di luar penyidikan. .
Personil polisi membubarkan mahasiswa yang menerobos pagar saat berunjuk rasa menolak pengesahan revisi undang-undang pilkada di depan gedung DPR di Senayan. Galih Pradipta/Antara Foto
Contoh termudah yang bisa kita lihat adalah “polisi” aksi polisi massal yang seringkali tidak mengikuti prosedur dan penuh dengan aksi polisi yang mengandung kekerasan, seperti yang terjadi pada aksi Reformasi Korupsi tahun 2019 dan Darurat Demokrasi tahun 2024.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (ILBHI) mencatat 88 kasus penangkapan sewenang-wenang dalam laporannya pada tahun 2019, dengan jumlah korban mencapai 1.144 orang. Hal ini termasuk penganiayaan, intimidasi, pelanggaran dan penyiksaan.
Politik kriminal 'balas dendam'
Konsep pengendalian kejahatan juga tercermin dalam kebijakan penal yang selalu berorientasi pada jaminan efek jera bagi pelaku kejahatan. Faktanya, terlalu banyak kebijakan yang bersifat menghukum hanya menunjukkan bahwa negara lemah dan tidak mampu menciptakan ketertiban. Sebaliknya, peradilan pidana yang bersifat hukuman justru menyebabkan peningkatan (3%) angka residivisme.
Terungkapnya kasus pidana pencucian uang dari peredaran narkoba oleh Bareskrim Polri di Jakarta. Reno Esnir/Antara Foto
Salah satu contoh kebijakan pidana yang masih ada pada masa pemerintahan Jokowi adalah kebijakan perang terhadap narkoba, yang menganggap penjara terutama ditujukan untuk memberikan hukuman dibandingkan rehabilitasi dan dianggap sebagai strategi efektif untuk melindungi keselamatan masyarakat.
Akibatnya, jumlah narapidana narkoba terus meningkat hingga saat ini. Data informatif Badan Pemasyarakatan dan Pemasyarakatan per 27 Agustus 2024 menunjukkan, dari total 217.299 narapidana, populasi pelaku tindak pidana narkotika mencapai 51,50%.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat kebijakan perang terhadap narkoba hanya mengatur jenis kejahatan dan jumlah narkotika sebagai syarat pemidanaan, tanpa melihat faktor lain terkait pengklasifikasian peran pelaku sebagai pelaku. pengguna. , seorang pecandu atau kurir narkoba yang mengedarkan dalam jumlah besar.
Padahal, pemidanaan akan lebih efektif jika dibarengi dengan upaya integrasi sosial antar individu atau komunitas yang terkena dampak kejahatan. Oleh karena itu, hukuman penjara bukanlah kebijakan pilihan pertama yang tepat, dan integrasi sosial perlu didukung oleh aktor-aktor di luar sistem peradilan pidana, seperti layanan masyarakat dan layanan dukungan dari sektor sosial dan kesehatan masyarakat.
Kita juga harus ingat bahwa perang terhadap narkoba adalah kebijakan yang keras dan bersifat menghukum yang dapat mengakibatkan hukuman mati. Imparcial mencatat, pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, angka hukuman mati dan eksekusi cukup tinggi.
Pada tahun 2022, ICJR mencatat tren penambahan kasus yang dituntut dan/atau dijatuhi hukuman mati masih didominasi oleh tindak pidana narkotika sebesar 93%. Sementara itu, belum ada bukti empiris yang menunjukkan efektivitasnya dalam pengendalian tindak pidana narkotika.
Sistem kriminal itu mahal
Penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan hukuman pidana melalui pidana penjara memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa pidana penjara. Dalam konteks Indonesia, negara harus mengadili pelakunya melalui seluruh tahapan, mulai dari penyidikan oleh pihak kepolisian, penuntutan oleh pihak kejaksaan, pendampingan hukum dari pengacara, persidangan di Mahkamah Agung, hingga pidana penjara. Keseluruhan proses peradilan pidana membutuhkan banyak sumber daya yang mahal.
Aksi melawan UU Pilkada di Batam. Teguh Prihatna/Antara Foto
Dalam biaya kejahatan dan peradilan pidana, biaya yang ditanggung negara meliputi biaya makanan dan perbekalan narapidana, transportasi dan logistik selama persidangan, biaya pencarian barang bukti, dan biaya menghadirkan saksi ahli.
Para pengambil kebijakan hendaknya mempertimbangkan aspek biaya sebagai kerangka penting dalam pembentukan kebijakan peradilan pidana. Sumber daya dapat dialokasikan dengan lebih baik pada intervensi yang menawarkan pengembalian investasi tertinggi, seperti program pencegahan dan pengobatan yang mungkin lebih hemat biaya dalam jangka panjang dibandingkan dengan penahanan.
Pekerjaan rumah untuk Prabovo
Gambaran di atas tentu saja hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang muncul terkait sistem peradilan pidana kita. Masih banyak konteks lain yang sering diabaikan dalam pembahasan. Tanpa sistem peradilan yang akuntabel, kita semua akan mempunyai risiko yang sama terhadap penangkapan sewenang-wenang, pembatasan hak-hak hukum, dan risiko penganiayaan, baik kita sebagai korban, saksi, atau pelaku.
Tanpa sistem peradilan yang transparan, kita #SwimogliNovo. Kelompok miskin dan rentan akan semakin terhimpit dan stabilitas negara pun akan terpengaruh. Jika stabilitas negara tidak terjaga maka akan ada risiko mempengaruhi perekonomian dan iklim investasi, serta impian besar membangun Indonesia yang kuat di mata dunia tidak akan terwujud.
Selain itu, Indonesia saat ini sedang dalam proses untuk menjadi anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang mewajibkan negara tersebut untuk menunjukkan komitmen terhadap masyarakat demokratis berdasarkan prinsip supremasi hukum dan perlindungan. hak asasi manusia.
Belajar dari kontroversi pemilu 2024
Dari berbagai dinamika yang muncul pada pemilu 2024, kita juga bisa melihat bagaimana reformasi hukum bisa dengan mudah dibalik sesuai dengan kepentingan politik penguasa. Oleh karena itu, menjadi penting bagaimana Pemerintah selanjutnya dapat memastikan kebijakan hukum yang mencakup partisipasi masyarakat.
Mengutip pendapat Picker (2019) dan Sherman (2013), pengetahuan yang kita miliki perlu dipadukan dengan keahlian para ahli, mitra pembangunan, pengalaman masyarakat sipil dan aktor kunci lainnya di tingkat pusat dan daerah untuk menghasilkan kebijakan dan praktik berbasis bukti yang berbeda.
Oleh karena itu, pemantauan terhadap arah kebijakan Presiden dan DPR pada periode mendatang menjadi penting untuk memastikan upaya penguatan sistem peradilan pidana Indonesia tidak berhenti sampai disitu saja.
Mari kita ikuti bersama reformasi hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Mari #MontauPrabovo bersama.