Friday, December 6, 2024

5 Teratas Minggu Ini

Posting Terkait

Pemerintahan Prab berpotensi menjadi koalisi yang kuat: apa jadinya negara ini tanpa oposisi?

Prabovo-Gibran yang pencalonannya sebagai presiden dan wakil presiden menuai kontroversi, akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.

Untuk melindungi pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabovo yang berisi pertanyaan-pertanyaan penting yang muncul dari pemetaan kami dengan jaringan penulis TCID. Edisi kali ini juga mengulas 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, serta memberikan persiapan bagi Prabowo-Gibran dalam menjalankan tugasnya.

Pastor Magnis beberapa waktu lalu berpesan jika Indonesia tidak memiliki partai oposisi, maka demokrasi di negeri ini perlahan akan hilang. Prinsip rule of law tidak akan ada lagi, yang ada hanya rule by law, yaitu ketika pemerintah berada di atas hukum itu sendiri dan bebas berbuat apa pun.

Dampak yang paling mengerikan adalah tidak mendengarkan suara rakyat. Semua keputusan ada di tangan elit dan mereka yang akan terus berkuasa.

Bukan tidak mungkin kejadian mengerikan itu terjadi pada masa pemerintahan Prabov Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Baru-baru ini, Prabowo memberi isyarat akan melenyapkan pihak oposisi dengan mengatakan bahwa oposisi bukanlah budaya Indonesia.

Dia tampaknya akan mengikuti jejak Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang menyambut semua partai politik ke dalam koalisi pemerintah. Saat ini, 8 dari 9 partai politik di parlemen menjadi pendukung pemerintah (koalisi penguasa).

Prabovo kemungkinan besar akan memiliki koalisi pendukung pemerintah yang kuat. Hal ini sudah bisa diprediksi pada pemilu 2024 dan akan berdampak buruk pada pemerintahan di Indonesia serta mendorong praktik korupsi.

Hal ini membuka jalan bagi penyalahgunaan posisi

Pada pemilihan umum (Pemilu) 2024 Februari lalu, delapan partai politik berhasil merebut kursi di parlemen, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) , dan Demokrat.

file 20240921 16 bopcps.jpg?ixlib=rb 4.1

Foto Presiden Joko Fauzan/Antara

Dari delapan parpol yang mengisi 580 kursi DPR RI, hanya PDIP yang berpeluang menjadi oposisi. Meski PDIP memiliki kursi terbanyak, yakni 110 kursi, namun komposisinya masih sangat timpang. Koalisi pemerintah akan terus memanfaatkan kekuasaan, terutama melalui posisi strategis lembaga negara.

Jika hal ini terjadi, hal ini tidak hanya akan mengakibatkan hilangnya kendali dan keseimbangan, namun juga akan membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan secara sistematis.

Ketika kekuasaan tidak ditantang, pemerintah cenderung memperkuat cengkeramannya dengan melemahkan lembaga-lembaga demokrasi dan membungkam suara-suara kritis. Pada tahap ini, pemerintah tidak lagi merasa terikat pada hukum dan cenderung menggunakan hukum sebagai alat untuk melegitimasi tindakan represifnya.

Melahirkan rezim otoriter

Kita bisa melihat dan belajar dari beberapa sejarah dan pengalaman negara lain, khususnya bagaimana tidak adanya oposisi yang efektif dalam suatu sistem politik dapat meningkatkan risiko munculnya rezim otoriter.

Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara dengan sistem satu partai, seperti Jerman di bawah Hitler dan Italia di bawah Mussolini, cenderung menuju kediktatoran.

file 20240921 18 qxzbho.jpg?ixlib=rb 4.1

Pemimpin Nazi Jerman Adolf Hitler (kanan) bersama pemimpin fasis Italia Benito Mussolini di Munich, Jerman, 18 Juni 1940. Everett Collection/Shutterstock

Dalam rezim otoriter kontemporer, manipulasi politik seringkali dilakukan melalui penggunaan institusi yang terkesan demokratis namun nyatanya dirancang untuk mempertahankan kekuasaan rezim tersebut. Misalnya, rezim yang berkuasa menggunakan mekanisme pemilu yang tampak sah namun disertai dengan intimidasi, korupsi, atau penipuan untuk memastikan kemenangan.

Dalam beberapa kasus, fenomena ini terlihat di negara-negara pasca-Soviet. Partai-partai oposisi seringkali “dikendalikan” untuk memberikan ilusi persaingan politik, padahal kenyataannya mereka tidak mampu menantang kekuasaan rezim.

Rezim otoriter seringkali menggunakan korupsi dan intimidasi untuk mempertahankan kendali, sementara oposisi yang ada menjadi tidak efektif dan tidak mampu menjadi penyeimbang yang kredibel.

Contoh fenomena ini dapat dilihat di Rusia, pada masa rezim Vladimir Putin. Meski pemilu diadakan secara rutin, pihak oposisi nampaknya tidak berdaya dalam berbagai cara, mulai dari intimidasi, pembatasan akses terhadap media, hingga penangkapan aktivis oposisi. Rezim tersebut menggunakan struktur hukum untuk melegitimasi tindakan represifnya, sehingga membuat partai-partai oposisi tampak legal namun secara de facto tidak memiliki kapasitas untuk menantang kekuasaan.

Di Belarus, pada masa kepemimpinan Alexander Lukashenko, pemilu hanya digunakan sebagai sarana untuk memperluas kekuasaan. Partai-partai oposisi diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam jumlah besar, namun rezim yang berkuasa sering membatasi kampanye, mengontrol akses terhadap media, dan mengintimidasi pendukung oposisi secara fisik. Pemilu yang berlangsung hanyalah ilusi demokrasi yang hasilnya sudah diatur sejak awal.

Masyarakat semakin tidak terlibat

Kekuatan oposisi yang sangat minim tidak hanya melemahkan sistem politik secara keseluruhan, namun juga memberikan dampak negatif terhadap masyarakat sipil.

Ketika tidak ada ruang untuk perbedaan pendapat atau kritik, masyarakat sipil kehilangan suaranya dalam proses politik. Hak-hak dasar, seperti kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat, sering kali dibatasi. Akibatnya, masyarakat tidak lagi memiliki mekanisme untuk mengungkapkan ketidakpuasannya secara damai dan terorganisir. Hal ini dapat memperburuk ketidakpuasan sosial dan meningkatkan risiko kerusuhan.

file 20240921 16 gxgd0c.jpg?ixlib=rb 4.1

Seorang mahasiswa terjatuh akibat terkena pancaran air dari meriam air polisi saat aksi unjuk rasa di luar kantor DPRD Kaltim di Samarinda. M Risial Hidayat/Antara Foto

Situasi ini juga memperburuk korupsi dan inefisiensi pemerintah, karena tidak ada mekanisme efektif untuk menjaga akuntabilitas pemerintah. Tanpa adanya oposisi yang kuat, kebijakan publik cenderung didorong oleh kepentingan elite penguasa dibandingkan kesejahteraan rakyat. Hal ini menciptakan kesenjangan ekonomi dan sosial yang semakin lebar, yang pada akhirnya memperburuk stabilitas politik dan sosial.

Selain berdampak terhadap korupsi dan hak-hak masyarakat sipil, hilangnya kekuatan oposisi juga berdampak buruk pada kualitas lembaga demokrasi yang seharusnya berfungsi sebagai checks and balances terhadap pemerintahan.

Di Indonesia, lembaga yang berfungsi sebagai pengawas dan pemeriksa kekuasaan antara lain sejumlah lembaga penting demokrasi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Ombudsman. KPK, misalnya, bertanggung jawab memberantas korupsi di kalangan pejabat publik, sedangkan KPU memastikan proses pemilu berjalan adil dan jujur. Ombudsman berperan dalam menyelesaikan pelanggaran administratif yang dilakukan PNS.

Namun, rezim otoriter melemahkan lembaga-lembaga tersebut atau bahkan menyalahgunakannya untuk mempertahankan dominasi. Akibatnya, proses legislatif, yudikatif, dan media, yang seharusnya berfungsi secara independen, menjadi alat politik untuk memperkuat kekuasaan rezim.

Dalam pengertian legislatif, oposisi yang lemah tidak mampu mempengaruhi kebijakan, sehingga peraturan perundang-undangan hanya mencerminkan kepentingan pemerintah. Akibatnya, politik yang dihasilkan cenderung tidak mewakili kepentingan rakyat, melainkan justru memperluas kekuasaan rezim atau menguntungkan kelompok elit tertentu.

Membahayakan kerja media

Selain lembaga peradilan dan legislatif, media juga menjadi sasaran utama rezim otoriter dalam mengendalikan opini publik. Kebebasan pers, yang merupakan landasan penting bagi demokrasi, sering kali ditekan, dan media yang kritis terhadap pemerintah menghadapi ancaman hukum, sensor, atau intimidasi fisik.

Rezim yang berkuasa akan mengontrol narasi yang menyebar ke masyarakat, memastikan bahwa hanya berita yang menguntungkan pemerintah yang disebarluaskan. Dengan cara ini, rezim dapat membentuk opini publik yang berpihak pada pemerintah atau setidaknya menghilangkan kritik terbuka terhadap kebijakan-kebijakannya.

Ketika media tidak lagi bebas, masyarakat akan kesulitan memperoleh informasi yang objektif dan transparan mengenai situasi politik, sosial, dan ekonomi di negara tersebut. Kurangnya akses terhadap informasi yang akurat membuat masyarakat semakin terisolasi dan tidak mampu melawan kekuasaan secara efektif. Hal ini juga memperburuk kondisi sosial, karena masyarakat mudah terpecah belah oleh propaganda dan narasi yang dikendalikan pemerintah.

Mendorong kesenjangan sosial

Dampak hilangnya oposisi yang efektif juga akan sangat mempengaruhi kondisi sosial dan perekonomian negara. Ketika elite penguasa menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri, sumber daya negara tidak lagi digunakan untuk kepentingan masyarakat umum. Merajalelanya korupsi dan kebijakan ekonomi yang tidak memihak rakyat menyebabkan semakin melebarnya kesenjangan sosial. Ketimpangan ini menyebabkan semakin besarnya ketidakpuasan di masyarakat, terutama di kalangan kelompok marginal.

Jurnalis foto di Rio de Janeiro menyalakan lilin saat mengheningkan cipta setelah seorang jurnalis video terbunuh saat meliput protes.

Ilustrasi kerja media. Nelson Antoine/Shutterstock

Ketidakpuasan sosial yang tidak disalurkan secara damai akibat represi politik pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan politik dan konflik sosial. Ketika masyarakat merasa aspirasinya tidak didengar dan hak-haknya terus-menerus dilanggar, maka masyarakat akan mencari cara lain untuk mengungkapkan ketidakpuasan tersebut, seringkali melalui protes yang berujung pada kerusuhan atau bahkan kerusuhan.

Dalam beberapa kasus, penindasan yang berlebihan terhadap pengunjuk rasa atau pihak oposisi justru memicu reaksi yang lebih kuat dari masyarakat, sehingga semakin memperburuk situasi keamanan dan stabilitas negara.

Bagaimanapun, menjaga checks and balances dalam pemerintahan adalah kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak terkonsentrasi di tangan segelintir elit, dan ini merupakan tantangan penting dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Rak berikutnya.

Ketika kekuatan oposisi di Indonesia terus menyusut, ancaman hilangnya mekanisme pengawasan independen menjadi nyata. Fungsi penting lembaga-lembaga seperti DPR, KPK, dan Mahkamah Konstitusi bisa tergerus jika tidak lagi independen atau diisi oleh aktor-aktor yang loyal kepada penguasa. Dalam sistem demokrasi yang sehat, pihak oposisi memainkan peran penting dalam mendorong transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang adil.

Tanpa adanya oposisi yang kuat, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan akan semakin besar. Oleh karena itu, kita harus memperkuat institusi demokrasi yang mampu menjaga keseimbangan kekuasaan. Lembaga seperti DPR harus tetap menjalankan fungsi pengawasan yang efektif, sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi harus tetap independen dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi di ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika tidak, risiko munculnya pemerintahan yang otoriter dan tertutup akan semakin besar.

Pemerintahan Prab harus memahami bahwa negara yang kuat tidak hanya diukur dari besarnya koalisi yang mendukung pemerintahannya, tetapi juga dari kemampuan sistem politik menerima kritik dan memastikan seluruh elemen masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dalam proses politik. Hanya dengan mekanisme checks and balances yang kuat maka kebijakan pemerintah dapat dirumuskan untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan dan menjauhkan Indonesia dari ancaman otoritarianisme.

negaraku

negaraku indonesia

indonesia negaraku

indonesia

Artikel Populer