Prabovo-Gibran yang pencalonannya sebagai presiden dan wakil presiden menuai kontroversi, akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.
Untuk melindungi pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabovo yang berisi pertanyaan-pertanyaan penting yang muncul dari pemetaan kami dengan jaringan penulis TCID. Edisi kali ini juga mengulas 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, serta memberikan persiapan bagi Prabowo-Gibran dalam menjalankan tugasnya.
Pemerintahan Prabovo-Gibran menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Tingkat pertumbuhan yang tinggi memerlukan dukungan pertumbuhan dari investasi. Khusus penanaman modal asing atau penanaman modal asing dalam jumlah besar sekitar Rp 2.000 triliun.
Di sisi lain, konsumsi dan komponen ekspor-impor pertumbuhan ekonomi tidak mungkin bisa diandalkan dalam kondisi perlambatan perekonomian global saat ini.
Mendatangkan modal asing senilai Rp2 ribu triliun sebenarnya bukan sasaran empuk. Target tersebut membutuhkan pertumbuhan investasi sebesar 16% dibandingkan target investasi tahun 2024 sebesar Rp 1,650 triliun.
Sementara itu, selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan investasi nasional sangat bervariasi. Akibatnya, selama satu dekade terakhir rata-rata pertumbuhan investasi hanya mencapai 6,6 persen.
Sumber: BKPM | Diproses oleh TCID.
Sejauh mana pemerintahan baru akan menarik investor asing untuk berinvestasi di negaranya di tengah ketatnya persaingan investasi asing antar negara berkembang lainnya?
Peta persaingan investasi global
Ada berbagai parameter yang dapat dijadikan acuan tingkat daya saing suatu negara. Parameter biasanya melihat kondisi perekonomian, pemerintahan, birokrasi, harga energi, undang-undang, perpajakan, dan lain-lain. Banyak institusi yang mengeluarkan peringkat daya saing suatu negara, seperti Bank Dunia dengan Ease of Doing Business-nya atau International Institute for Management Development (IMD), sebuah sekolah bisnis dan manajemen di Swiss melalui World Competitiveness Ranking-nya.
Dalam artikel ini kami menggunakan referensi dari IMD karena juga digunakan sebagai acuan parameter perekonomian global bagi pemerintah. Salah satunya baru-baru ini diungkapkan Menteri Perekonomian Erlanga Hartato.
Baru-baru ini, IMD menerbitkan VCR 2024 yang membandingkan daya saing berbagai perekonomian dunia. Pada iterasi tahun 2024, Indonesia mengalami lonjakan peringkat daya saing yang signifikan, dari posisi 34 pada tahun 2023 menjadi peringkat 27 pada tahun ini.
Presiden Joko Widodo menyambut baik hasil tersebut karena melampaui beberapa negara seperti Jepang, Inggris, dan Turki. Ia juga mengatakan, lonjakan ini berkat UU 11/2020 tentang Cipta Kerja
Untuk menjawabnya, kita perlu mendalami lebih dalam kriteria penilaian IMD lalu mencermati faktor apa saja yang mempengaruhi kenaikan peringkat Indonesia di tahun 2024.
Faktor penentu peningkatan minat investor asing ke Indonesia
Menurut IMD, tolak ukur tingkat persaingan suatu negara diukur dari kapasitas dan kemampuannya dalam mempertahankan iklim investasi. IMD memperkirakan daya saing suatu negara akan meningkat jika negara tersebut berhasil menarik investasi asing, mendorong inovasi, meningkatkan produktivitas, dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat luas.
IMD bekerja sama dengan mitra lokal di negara-negara yang disurvei untuk menghasilkan laporan ini. Untuk Indonesia, mitra lokalnya adalah Institut Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LM FEB UI) dan NuPMK Consulting. Naik turunnya peringkat Indonesia secara keseluruhan disebabkan oleh empat parameter kinerja utama, yaitu kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.
IMD menggunakan data keras untuk menganalisis aspek daya saing yang nyata dan terukur. Ada juga data lunak untuk menangkap perspektif umum. Data keras terdiri dari statistik dan indikator ekonomi yang dikumpulkan dari sumber internasional, regional, dan nasional.
Mengutip empat faktor utama, kinerja Indonesia secara umum menurun pada tahun 2022 sebelum mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2023-24. Peningkatan paling signifikan terjadi pada faktor efisiensi usaha, dimana daya saing Indonesia naik dari peringkat 31 pada tahun 2022 menjadi peringkat 14 pada tahun 2024.
Sumber: IMD.
Salah satu faktor yang menjadi pengecualian dalam pertumbuhan keseluruhan Indonesia saat ini adalah infrastruktur. Peringkat infrastruktur Indonesia konsisten berada di peringkat 50 ke atas bahkan mengalami sedikit penurunan meski alokasi fiskal meningkat sebesar 22,2% pada tahun 2023. Penurunan indeks tersebut terjadi akibat melambatnya pembangunan infrastruktur kesehatan dan lingkungan hidup.
Gaji rendah dan pajak membantu
Pada dasarnya, VCR mengukur potensi dinamis yang dapat dimanfaatkan oleh badan usaha swasta di suatu negara. Artinya, pemeringkatan ini berfokus pada hal-hal yang “membebani” bisnis perusahaan swasta, seperti rendahnya tingkat upah atau rendahnya intensifikasi perpajakan dan belanja pemerintah.
Dengan kata lain, rendahnya pemungutan pajak dan upah di Indonesia meningkatkan peringkat daya saing Indonesia. Menurut kami, daya saing yang baik terbangun meskipun industri mampu memberikan upah yang tinggi dan memberikan kontribusi yang besar terhadap perpajakan. Untuk itu, negara harus kuat di sisi lain.
Indonesia punya pekerjaan rumah di bidang perpajakan. Pundi-pundi yang dihasilkan dari penerimaan pajak merupakan kunci peningkatan produktivitas pekerja, efisiensi infrastruktur, kepastian hukum, dan akses keuangan yang baik.
Hal ini terlihat pada indikator utama daya tarik, serta laporan VCR, dimana manajer diberikan kesempatan untuk menuliskan 5 alasan utama berinvestasi di Indonesia dari total 15 alasan. Indikator daya tarik utama dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Sumber: IMD.
Tentu kita juga bisa melihat bahwa hal-hal yang dianggap baik untuk daya saing, seperti kepastian hukum, pendidikan dan produktivitas pegawai, serta infrastruktur seringkali berada pada peringkat terbawah. Faktanya, bagi kalangan eksekutif, rezim perpajakan Indonesia mendapat skor terendah meskipun pajak per PDB Indonesia relatif rendah.
Produktivitas tenaga kerja misalnya. Investor lebih memilih membuka pabrik di lokasi yang bisa menjamin produktivitas tinggi, seperti Vietnam. Begitu pula dengan kepastian hukum yang sudah lama menjadi keluhan investor dan belum terselesaikan.
Kita juga masih menunggu efektifitas UU Cipta Kerja di lapangan terkait tata cara memulai usaha, kepastian hukum, dan kakunya ketenagakerjaan yang akan terus menjadi permasalahan dunia usaha di Indonesia pada tahun 2024. Hal ini menunjukkan bahwa pasangan terpilih Prabowo – Pekerjaan rumah Gibran masih panjang untuk memperbaiki lingkungan bisnis di Indonesia.
Selain itu, pemerintahan Prabovo-Gibran harus waspada agar kondisi yang mendorong daya saing yang sudah baik tidak memburuk. Kondisi tersebut antara lain pengelolaan APBN yang bertanggung jawab, tingkat utang yang terkendali, dan kondisi makroekonomi yang stabil.
Jika Indonesia ingin tumbuh hingga 8% dan menjadi negara besar, maka sumber daya saing Indonesia harus berasal dari produktivitas pekerja, kualitas institusi dan infrastruktur yang memadai, serta mengurangi ketergantungan pada upah dan pajak yang rendah. Mengingat strategi Prabovo-Gibran termasuk menarik perusahaan-perusahaan Fortune 500, perbaikan hal-hal tersebut harus menjadi prioritas bagi pasangan terpilih.
Pada saat yang sama, Vietnam terus berbenah menjadi lokasi manufaktur chip semikonduktor baru. Demikian pula, India telah berkembang menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar berkat pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia yang konsisten dan berkelanjutan.