Friday, December 6, 2024

5 Teratas Minggu Ini

Posting Terkait

Refleksi 'Peringatan Darurat': Kekuatan Media Sosial untuk Memobilisasi Demokrasi

Agustus 2024 lalu, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menunjukkan kekuatan suara rakyat dengan turun ke jalan, berkumpul di depan gedung DPR RI di Jakarta. Mereka menyatakan ketidakpuasannya terhadap keputusan DPR yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Aksi yang diberi nama “Gerakan Siaga Darurat Indonesia” ini awalnya diluncurkan di media sosial dan kemudian berubah menjadi aksi nyata yang mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap tindakan politik para pejabat senior pemerintah yang dinilai mengancam demokrasi.

Peran media sosial dalam memobilisasi gerakan ini tidak bisa diabaikan. Tagar seperti #emergenciwarning dan #mkdecision guard dengan cepat menjadi tren di berbagai platform.

Hal ini membuktikan kekuatan digital dalam menggalang dukungan dan memobilisasi aksi kolektif. Media sosial dalam hal ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, namun juga sebagai katalisator yang mempercepat penyebaran ide-ide kritis dan ajakan bertindak.

Ruang publik dalam mobilisasi demokrasi

Teori ruang publik yang diperkenalkan oleh filsuf Jerman Jürgen Habermas menawarkan kerangka kerja yang berguna untuk memahami bagaimana media sosial telah berkembang menjadi arena diskursif yang penting dalam demokrasi modern.

Dalam konsep ruang publik, Habermas menggambarkan ruang dimana individu dapat berkumpul untuk berdiskusi dan membentuk opini bersama, tanpa campur tangan negara atau kekuatan ekonomi.

Di era digital, media sosial menjadi lambang ruang publik tersebut. Di dalamnya, berbagai suara dan perspektif berbeda dapat muncul dan berkembang secara luas.

Dalam konteks gerakan Siaga Mendesak, media sosial memainkan peran sentral dalam menyebarkan pesan, menggalang dukungan, dan memobilisasi aksi massa. Platform-platform ini memungkinkan terbentuknya komunitas virtual yang melintasi batas-batas geografis dan sosial, sehingga menciptakan sebuah arena di mana diskusi politik tidak lagi dimonopoli oleh kaum elit, namun terbuka bagi siapa saja yang memiliki akses internet.

Lebih dari sekedar alat komunikasi, media sosial berfungsi sebagai katalis yang mempercepat penyebaran ide-ide politik dan memungkinkan reaksi cepat terhadap isu-isu baru.

Dalam gerakan Siaga Mendesak, pengguna internet menggunakan Twitter dan Instagram untuk menciptakan narasi bersama, membangun solidaritas, dan mengoordinasikan aksi kolektif secara efektif. Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial telah merevolusi cara masyarakat berpartisipasi dalam demokrasi, menjadikannya lebih inklusif dan dinamis.

Perebutan kekuasaan di ruang digital

Mobilisasi digital yang terjadi melalui gerakan Siaga Darurat menunjukkan bagaimana perebutan kekuasaan di ruang digital.

Merujuk pada teori kekuasaan sejarawan dan filsuf Prancis Michel Foucault, gerakan ini dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap otoritas negara yang berupaya mengontrol narasi politik. Ratusan mahasiswa yang turun ke jalan tersebut merupakan dampak dari mobilisasi online. Hal ini menegaskan bahwa media sosial mempunyai kekuatan yang besar untuk memobilisasi massa dan mempengaruhi proses politik secara langsung.

Dalam konteks ini, media sosial berfungsi sebagai medan pertempuran baru di mana kontrol atas narasi politik menjadi hal yang sangat penting. Foucault menemukan bahwa kekuasaan tidak selalu mengalir dari atas ke bawah, namun bisa juga muncul dari bawah melalui perlawanan yang ditimbulkan oleh otoritas yang ada. Gerakan “Siaga Darurat” merupakan contoh nyata bagaimana kekuatan tersebut diungkapkan melalui platform digital.

Lebih lanjut, gerakan “Emergency Alert” juga menggambarkan konsep “disiplin” dan “pengawasan” Foucault di era digital. Media sosial memungkinkan pemerintah untuk lebih mudah memantau aktivitas kolektif yang terjadi secara online, sehingga mengungkap pola dan strategi komunikasi yang digunakan oleh para aktivis.

Hal ini memberikan pemerintah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengantisipasi, dan bahkan melakukan intervensi dalam mobilisasi massa sebelum tindakan nyata dilakukan, dengan tujuan mengurangi potensi ancaman terhadap stabilitas politik.

Solidaritas digital

Dari sudut pandang sosiolog Perancis Emile Durkheim, gerakan Siaga Darurat mencerminkan solidaritas mekanis – individu-individu yang dipersatukan oleh nilai-nilai dan tujuan bersama.

Solidaritas mekanis, yang biasanya ditemukan dalam masyarakat sederhana, telah disesuaikan dengan konteks digital modern. Hal ini memungkinkan terciptanya ikatan yang kuat antar kelompok dengan tujuan yang sama, meskipun mereka tidak pernah bertemu secara fisik karena konektivitas virtual.

Media sosial berperan sebagai katalis yang memperkuat ikatan sosial antar peserta gerakan, menciptakan rasa kebersamaan meski berada di lokasi berbeda.

Selain itu, media sosial mempercepat penyebaran informasi dan memungkinkan beragam individu untuk berpartisipasi dalam dialog yang memperkuat solidaritas.

Di ruang digital, narasi bersama dapat dibentuk lebih cepat dan lebih luas dibandingkan melalui media tradisional, sehingga memungkinkan para peserta gerakan untuk mengkonsolidasikan identitas kolektif mereka.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Durkheim tentang pentingnya nilai dan norma bersama dalam menciptakan solidaritas sosial. Dengan kata lain, media sosial telah menjadi platform utama untuk mengartikulasikan dan memperkuat nilai-nilai tersebut.

Selain itu, figur publik dan influencer media sosial berperan penting sebagai “aktor” yang memperkuat kohesi kelompok dengan membangun narasi kuat yang kemudian memicu aksi nyata, seperti demonstrasi di depan gedung DPR RI.

Tangkapan layar. Ancaman disinformasi

Meskipun media sosial dapat memperkuat partisipasi politik, media sosial juga membawa tantangan besar, seperti polarisasi dan misinformasi, yang dapat mengancam stabilitas politik dan demokrasi.

Misinformasi, manipulasi opini publik, dan polarisasi merupakan beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan media sosial sebagai ruang publik. Dalam konteks ini, penting untuk disadari bahwa meskipun media sosial membuka peluang baru bagi partisipasi demokratis, media sosial juga dapat menjadi arena konflik dan ketidakstabilan jika tidak dikelola dengan bijak.

Dalam konteks gerakan Siaga Mendesak, media sosial berperan ibarat api yang mengobarkan semangat perlawanan di tengah krisis demokrasi Indonesia dengan memobilisasi massa di era digital. Hal ini menunjukkan pentingnya peran media sosial sebagai ruang publik baru.

Namun kebakaran ini juga membawa risiko, yakni polarisasi, disinformasi, dan pengawasan terselubung, yang siap menggerogoti fondasi demokrasi. Mitigasi risiko-risiko ini akan menentukan apakah risiko-risiko tersebut akan menjadi alat bagi pembangunan demokrasi atau malah menyebabkan kehancurannya.

negaraku

negaraku indonesia

indonesia negaraku

indonesia

Artikel Populer