Prabovo-Gibran yang pencalonannya sebagai presiden dan wakil presiden menuai kontroversi, akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.
Untuk melindungi pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabovo yang berisi pertanyaan-pertanyaan penting yang muncul dari pemetaan kami dengan jaringan penulis TCID. Edisi kali ini juga mengulas 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, serta memberikan persiapan bagi Prabowo-Gibran dalam menjalankan tugasnya.
Presiden terpilih Prabowo Subjanto bersama Wakil Presiden terpilih Jibran Rakabuming Rak berambisi mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8% pada periode pertamanya. Perekonomian Indonesia tumbuh sekitar 7-8% pada masa Orde Baru, khususnya pada paruh pertama tahun 1990-an.
Namun perlu dicatat bahwa Indonesia saat ini berada pada era yang sangat berbeda dibandingkan tahun 1990-an. Bank Dunia bahkan menyebut periode saat ini sebagai “era pertumbuhan terendah dalam 30 tahun terakhir”. Tiongkok hanya akan tumbuh sekitar 5% pada tahun 2023, tidak jauh dari pertumbuhan Indonesia pada tahun yang sama. Angka tersebut kemungkinan akan terus menurun pada tahun 2024 dan 2025 menjadi 4,8% dan 4,3%.
Seberapa besar peluang kabinet Prabovo-Gibran mengulangi kesuksesan ekonomi era Orde Baru? Untuk membahas hal ini, ada baiknya kita menjelaskan situasi perekonomian eksternal dan internal saat ini.
Ketergantungan yang besar pada Tiongkok
Keadaan perekonomian Indonesia saat ini berada pada era yang sangat berbeda dibandingkan tahun 1990-an, dengan kondisi yang sangat berbeda tentunya. Bank Dunia bahkan mengumumkan bahwa periode saat ini tidak baik bagi perekonomian global.
Tiongkok yang kini menjadi salah satu kekuatan ekonomi paling berpengaruh di dunia hanya akan tumbuh sekitar 5 persen pada tahun 2023, tidak jauh dari pertumbuhan Indonesia di tahun yang sama. Laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok diproyeksikan terus menurun pada tahun 2024 dan 2025 menjadi 4,8% dan 4,3%.
Sejak berpartisipasi aktif dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 2001, Tiongkok telah menjadi salah satu penggerak pertumbuhan di kawasan Asia yang mendukung pertumbuhan ekonomi Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Filipina, Australia, dan Indonesia. Hal ini terlihat dari realisasi total neraca perdagangan Tiongkok dan ASEAN yang terus tumbuh hingga mencapai $975,3 miliar pada tahun 2022.
Hal ini terjadi karena berkah pertumbuhan China yang mencapai dua digit pada awal tahun 2000-an. Tren ini menciptakan sumber permintaan baru dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap perluasan ekspor negara-negara di kawasan.
Dengan gambaran kondisi perekonomian eksternal seperti ini, kami menilai target pertumbuhan 8% cukup menantang. Selain melambatnya pertumbuhan, Tiongkok saat ini menghadapi masalah geopolitik dengan intensitas tinggi, seperti pertarungan chip semikonduktor atas Taiwan.
Inefisiensi dan kesalahan alokasi sumber daya manajemen
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kesenjangan kesejahteraan antara negara maju dan negara berkembang disebabkan oleh kemampuan pengelolaan sumber daya ekonomi yang optimal dan efisien.
Kesenjangan ini menyebabkan kondisi dimana sumber daya negara seperti tenaga kerja, modal dan tanah tidak dikelola secara optimal. Misalnya, pekerja yang terampil di sektor manufaktur harus bekerja di sektor transportasi online karena tidak tersedianya lapangan kerja di sektor manufaktur.
Studi menunjukkan bahwa kesalahan alokasi sumber daya di sektor manufaktur menjadi penyebab menurunnya industri lokal. Tidak mengherankan jika kita mendapati produktivitas pekerja dan nilai investasi yang rendah.
Misalnya, seorang pekerja di Thailand dan Malaysia bisa mendapatkan penghasilan sekitar 11 ribu dolar (Rp 170 juta) dan 25 ribu dolar (Rp 387 juta) per tahun. Sedangkan pekerja yang sama di Indonesia hanya dapat memperoleh penghasilan sekitar 9 ribu dolar AS (140 juta rupiah) setahun.
Misalokasi investasi juga sering terjadi di Indonesia. Di era pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pesat, Indonesia membutuhkan nilai investasi sebesar 4% PDB untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%. Namun saat ini kita membutuhkan nilai investasi sebesar 6% PDB untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 1%.
Rasio ini sering disebut sebagai rasio modal-output tambahan (ICOR). Semakin rendah rasio ICOR suatu negara, semakin efisien pengelolaan sumber daya negara tersebut.
Penurunan ini terjadi akibat penerapan kebijakan industri di Indonesia. Kebijakan industri adalah kebijakan yang berupaya mengarahkan suatu industri atau perusahaan tertentu.
Kebijakan industri yang memadai memang merupakan kunci untuk memperbaiki kegagalan pasar. Namun kebijakan tersebut disinyalir menjadi penyebab berbagai misalokasi yang terjadi. Salah satu contohnya adalah upaya pemerintah mengeluarkan sumber daya, seperti suntikan penyertaan modal masyarakat (PMN), untuk menopang BUMN yang kurang produktif.
Kunci untuk meningkatkan produktivitas perekonomian adalah mudahnya pemain yang efisien masuk dan mudah bagi pemain yang tidak efisien untuk keluar. Proteksionisme hanya memaksa negara untuk terus memberikan subsidi, baik langsung maupun tidak langsung, kepada perusahaan-perusahaan yang sebenarnya tidak produktif.
Maraknya aksi rent-seeking dalam perekonomian, seperti kuota ekspor-impor dan hak pengelolaan lahan negara yang tidak transparan, juga memberikan ruang bagi perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Hal ini juga menghilangkan akses terhadap sumber daya bagi perusahaan yang mampu.
Selain itu, duo Prabovo-Gibran juga mewarisi tujuan net zero emisi pada tahun 2060. Artinya, mereka harus menghentikan penggunaan batu bara – sumber daya yang menghasilkan energi murah. Pada saat yang sama, Prabovo-Gibran juga menjanjikan swasembada pangan dalam waktu 4 tahun, yang kemungkinan besar akan mengalokasikan sumber daya ke sektor-sektor yang mengalami penurunan hasil atau tingkat investasi yang menurun.
Berapa peluang untuk mencapai 8%?
Faktanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia lumayan karena masih di atas rata-rata dunia. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045, Pemerintah telah menetapkan sejumlah sasaran pertumbuhan ekonomi berkelanjutan pada kisaran 6,0-7,0%. Target pertumbuhan tersebut cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2045.
Kalaupun Indonesia ingin melanjutkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari tren 5% saat ini, Indonesia memerlukan upaya serius untuk mencari sumber pertumbuhan investasi dan mitra dagang baru selain Tiongkok.
Pertumbuhan ekonomi juga dapat dipicu oleh meningkatnya utang pemerintah. Tampaknya pemerintah sudah mulai memikirkannya, dengan adanya wacana perlunya Tapera dan dana pensiun masyarakat. Tidak menutup kemungkinan dana tersebut akan disalurkan ke surat utang negara.
Pemerintah juga dapat menggunakan instrumen utang luar negeri, baik melalui surat utang negara dalam mata uang asing maupun melalui mekanisme Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Permasalahannya adalah peningkatan utang berpotensi menjadi tidak efektif jika Indonesia tidak mengatasi masalah mendasar yaitu misalokasi. Mekanisme peminjaman melalui BUMN juga pernah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Saat ini, beberapa BUMN bahkan terbebani dengan mekanisme tersebut.
Ingatlah bahwa pertumbuhan Indonesia yang mencapai 8% pada tahun 1995 terhenti karena krisis akibat buruknya pengelolaan utang luar negeri. Pasar masih mengingat hal itu, sehingga Indonesia wajib menjaga kebijakan makroprudensialnya dengan baik.
Indonesia perlu mencapai nilai investasi sebesar 48% PDB jika ingin mencapai target pertumbuhan 8%. Tidak diperlukan banyak sumber daya untuk menarik investasi global. Kuncinya adalah iklim politik yang cocok untuk mendorong persaingan di semua tingkatan bisnis.
Untuk mencapai iklim yang kondusif memerlukan komitmen yang sangat kuat dari pemerintah karena hal ini menekankan pada perbaikan tata kelola pemerintahan itu sendiri.
Sebagai warga negara Indonesia, kita mungkin ingin mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Namun, upaya yang tidak disengaja untuk mencapai target 8% telah menyebabkan sejarah mengulangi kisah pahitnya.