Mahasiswa dan dunia pergerakan bukanlah hal yang baru. Dari demonstrasi Lapangan Tiananmen di Tiongkok hingga demonstrasi tahun 1998 di Indonesia, mahasiswa selalu berada di garis depan gerakan yang mengkritik politik, memulai perubahan, dan bahkan menggulingkan rezim pemerintah.
Aktivisme mahasiswa memiliki sejarah yang panjang, bahkan berperan dalam mendefinisikan pendidikan tinggi itu sendiri.
Namun, banyak pengamat melihat aktivisme mahasiswa di Indonesia semakin berkurang.
Sebagai mahasiswa yang pernah ikut serta dalam demonstrasi di Indonesia dan baru-baru ini terlibat dalam aktivisme mahasiswa di University of Melbourne (UniMelb) dalam mengkritisi isu-isu global, khususnya terkait gerakan anti-genosida dan kolonialisme modern, saya mendapatkan pengalaman baru. perspektif tentang bagaimana aktivisme dan kebebasan berpikir harus diadakan di lingkungan pendidikan tinggi di Indonesia.
Refleksi aktivisme mahasiswa
Setidaknya ada tiga alasan mengapa gaya aktivisme mahasiswa di Australia berbeda dengan di Indonesia, serta penjelasan mengapa aktivisme mahasiswa di Indonesia semakin memudar.
1. Paparan isu-isu global
Pemaparan terhadap isu-isu adalah kunci untuk menciptakan gerakan aktivisme mahasiswa di kampus-kampus Australia. Sebagai universitas dengan hampir separuh mahasiswa internasional, wacana isu global di UniMelb sangat dinamis. Di kampus ini, mahasiswa berperan sebagai pemacu permasalahan yang ada di negaranya. Misalnya isu kekeringan di Afrika yang dikemas sebagai isu perubahan iklim, atau genosida di Palestina yang dimasukkan ke dalam wacana kolonialisme modern.
Kuliah umum oleh dosen/aktivis di lokasi kamp solidaritas terkait isu-isu global yang menjadi perhatian dunia. Instagram @unimelbforpalestine
Paparan permasalahan global ini membuat eksistensi aktivisme mahasiswa di UniMelb menjadi dinamis dan “masalah tidak kunjung selesai”. Hal inilah yang membedakan ekosistem aktivisme mahasiswa di Indonesia.
Rasio pelajar internasional di Indonesia masih sangat rendah, rata-rata kurang dari 1% dari total jumlah pelajar aktif. Akibatnya, dinamika permasalahan yang menimpa pelajar terus berkisar pada isu lokal, dan seringkali hanya berkisar pada isu korupsi, kriminalisasi, dan isu yang kurang lebih sama setiap tahunnya.
Apalagi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang mewakili gerakan mahasiswa seringkali lemah dalam membaca dinamika sosial politik sehingga gerakan aktivis menjadi monoton.
2. Ketersediaan ruang
Ruang kebebasan berpikir kritis juga tidak kalah pentingnya dalam menentukan kepekaan siswa terhadap suatu pertanyaan. Kebanyakan kampus di Australia memperbolehkan pandangan politik dan ideologi berbeda untuk diungkapkan atas nama kebebasan berpikir. Pandangan sosialisme, komunisme, syariah, kapitalisme atau demokrasi harus dianggap sebagai solusi atas permasalahan yang menjadi perhatian.
Tentu saja hal ini berbeda dengan ruang aktivisme di Indonesia. Ketakutan pemerintah terhadap berkembangnya ideologi yang dianggap bertentangan dengan Panchasil dan UUD 1945 kerap menjadi penghambat berpikir kritis mahasiswa. Di satu sisi, hal ini baik untuk melindungi jati diri bangsa dari serangan ideologi lawan. Namun di sisi lain, ketakutan yang berlebihan terhadap ideologi lain membatasi sikap mahasiswa dalam mengkritisi suatu permasalahan.
Pelarangan diskusi mengenai keberagaman gender di beberapa kampus, misalnya, merupakan bukti betapa kampus dapat mengekang kebebasan berpikir dan berdialog mengenai isu-isu sosial. Dalam dunia pendidikan tinggi, membicarakan ideologi dan sikap bukanlah hal yang tabu. Siswa harus diberi kepercayaan diri untuk mendiskusikan hal ini dalam suasana akademis.
3. Terlalu sibuk untuk 'bergerak'
Keberlangsungan aktivisme mahasiswa juga dipengaruhi oleh beban kerja akademik mahasiswa. Banyaknya mata kuliah yang diambil dan aktivitas kampus seperti magang menjadi hal yang sering menjadi pertimbangan mahasiswa ketika ingin terlibat dalam aktivisme kampus.
Belum lagi tambahan pandangan masyarakat dan dunia kerja yang masih sering mengedepankan nilai pengalaman aktivis. Stressor akademik ini seringkali membuat mahasiswa enggan mengikuti kegiatan non-akademik, termasuk aktivisme, yang dianggap menyita waktu belajar.
Mahasiswa UniMelb mengambil maksimal empat mata pelajaran atau 50 poin dalam satu semester. Setiap mata kuliah mempunyai beban tugas dan pembagian pembelajaran yang jelas sejak sebelum mahasiswa mengambil mata kuliah tersebut. Misalnya, satu mata kuliah memiliki beban belajar 170 jam per semester dengan dua tugas esai di akhir semester. Transparansi pembelajaran sejak awal memungkinkan siswa mengukur keterlibatan dirinya dalam berbagai kegiatan di luar akademik.
Sistem ini berbeda dengan kebanyakan kampus di Indonesia yang terkadang bisa mencapai 24 SKS atau rata-rata 10 mata kuliah dalam satu semester. Beban tugas dan jam belajar seringkali tidak dikomunikasikan dengan jelas. Fenomena tugas yang tiba-tiba atau perubahan jadwal perkuliahan yang tiba-tiba seringkali mengganggu aktivitas non-akademik mahasiswa.
Program pendidikan memegang peranan penting dalam keberadaan gerakan mahasiswa. Merdeka Belajar Kampus Merdeka berusaha memberikan ruang kepada mahasiswa untuk berbagi tanggung jawab sebagai mahasiswa dan sebagai agen perubahan. Namun, jika beban kuliah dapat diukur secara andal dan tidak memakan waktu, hal ini akan lebih mendukung mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan aktivis.
Kurikulum universitas harus memahami bahwa mahasiswa perlu belajar tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga melalui lingkungan di luar kelas, sehingga mereka menjadi peka terhadap permasalahan yang ada di masyarakat.
Mempertahankan eksistensi gerakan mahasiswa Indonesia
Mengingat sejarah gerakan mahasiswa yang sukses di Indonesia, seperti demonstrasi tahun 1998, #ReformasiDikorupsi, atau Gejaian Menggil, eksistensi aktivisme mahasiswa masih bisa dihidupkan kembali. Apa yang dibutuhkan?
1. Kesadaran kolektif
Bahkan, kampus UniMelb juga terkadang melakukan upaya untuk menekankan aktivisme mahasiswa. Baru-baru ini misalnya, mereka memata-matai mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa untuk menghukum aksi protes mereka di kampus. Namun berkat solidaritas mahasiswa, dosen, dan pegawai dalam memperebutkan ruang menyampaikan pendapat, kebijakan kampus tersebut dipertanyakan.
Artinya, penciptaan ruang aktivisme bukan hanya mutlak peran perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan. Penting juga bagi setiap civitas akademika untuk memahami hak politik mereka dalam aktivisme. Menjaga harkat dan martabat (kehormatan) aktivisme mahasiswa bukanlah perkara sederhana, namun memerlukan upaya dan kesadaran semua pihak akan pentingnya ruang kritik terhadap permasalahan yang ada.
2. Reformasi aktivisme pendidikan tinggi
Kampus-kampus di Indonesia juga perlu melakukan reformasi regulasi mengenai aktivisme mahasiswa, misalnya dengan memasukkan aktivisme dalam bobot satuan kredit semester (SCU), seperti yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sudah sepatutnya gerakan mahasiswa tidak lagi dipandang sebagai gerakan anarki. Di sisi lain, pemerintah dan perguruan tinggi harus melihat gerakan mahasiswa sebagai keberhasilan dalam mempersiapkan generasi kritis.
Namun, kita perlu tetap menempatkan aktivisme mahasiswa sebagai yang terdepan dalam mengkritik ketidakbenaran yang terjadi di masyarakat, pemerintah, dan bahkan dunia.