Thursday, December 26, 2024

5 Teratas Minggu Ini

Posting Terkait

Demi inovasi, dana pendidikan harus lebih banyak diinvestasikan ke perguruan tinggi dalam negeri

Prabovo-Gibran yang pencalonannya sebagai presiden dan wakil presiden menuai kontroversi, akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.

Untuk melindungi pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabovo yang berisi pertanyaan-pertanyaan penting yang muncul dari pemetaan kami dengan jaringan penulis TCID. Edisi kali ini juga mengulas 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, serta memberikan persiapan bagi Prabowo-Gibran dalam menjalankan tugasnya.

Ambisi Indonesia untuk menjadi negara berpendapatan tinggi memerlukan transformasi yang signifikan, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan dan penelitian.

Sayangnya, investasi Indonesia di bidang pendidikan jauh lebih rendah dibandingkan negara anggota G20 lainnya. Berdasarkan data terakhir, Indonesia menghabiskan sekitar 3,4% produk domestik bruto (PDB) untuk pendidikan, berbeda dengan negara-negara seperti Afrika Selatan dan Brazil yang mengalokasikan lebih dari 5% PDB-nya. Kurangnya investasi ini merupakan hambatan besar dalam mendorong inovasi dan mengurangi ketergantungan negara terhadap pengetahuan dan keahlian sumber daya manusia dari luar negeri.

Pemerintah memang telah menunjukkan komitmennya melalui inisiatif seperti Lembaga Pengelola Dana Beasiswa Indonesia (LPDP) yang bertujuan memberikan bantuan pendanaan pendidikan bagi Warga Negara Indonesia (VNI).

Namun pengelolaan dana tersebut tidak terlalu fokus pada peningkatan kapasitas perguruan tinggi dalam negeri. Berdasarkan laporan tahunan LPDP tahun 2022, dana abadi pendidikan tinggi hanya sebesar Rp7 triliun. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dana beasiswa pendidikan yang mencapai Rp 101 triliun. Artinya, hanya sekitar 5,6% dari total dana LPDP yang dialokasikan untuk mendukung peningkatan mutu perguruan tinggi di Indonesia.

Sementara itu, anggaran operasional tahunan universitas ternama di Indonesia seperti Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada hanya sekitar Rp3 triliun – jauh lebih kecil dibandingkan anggaran National University of Singapore (NUS) yang sekitar S$3 miliar (Rp34 triliun).

Anggaran ini jelas tidak mencukupi mengingat tantangan utama yang dihadapi perguruan tinggi dalam negeri, seperti kurangnya fasilitas penelitian, rendahnya peringkat global, dan terbatasnya akses terhadap sumber daya berkualitas.

Dengan kata lain, alokasi dana abadi pendidikan tinggi yang lebih besar sangat diperlukan untuk mempercepat peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan total dana Rp 154,1 triliun, LPDP mempunyai kapasitas untuk memperluas alokasi untuk membiayai perguruan tinggi dalam negeri.

Memperluas alokasi ini penting dilakukan, terutama jika pemerintahan Prabov berkomitmen serius untuk meningkatkan daya saing institusi pendidikan tinggi dalam negeri, menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih kuat, dan mengurangi ketergantungan pada beasiswa asing.

Rangkullah ekonomi inovasi

Dalam hal inovasi, Indonesia tertinggal jauh secara global. Menurut Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO), Indonesia mengajukan sekitar 1.549 permohonan paten dalam negeri pada tahun 2022. Jumlah ini terbilang kecil mengingat jumlah penduduk dan PDB Indonesia yang besar. Singapura sendiri yang memiliki populasi lebih kecil dan PDB lebih kecil mencatat 1.708 permohonan pada tahun yang sama.

Selain itu, kontribusi perguruan tinggi terkemuka di Indonesia terhadap publikasi penelitian global masih rendah. Misalnya pada tahun 2022, Universitas Indonesia (UI) menghasilkan sekitar 15 publikasi ilmiah yang terindeks di Nature, sedangkan NUS menghasilkan 1.035 publikasi ilmiah.

Dari segi pengeluaran, anggaran penelitian dan pengembangan Indonesia hanya sekitar 0,3% dari PDB – sangat rendah dibandingkan rata-rata global sebesar 2,2%. Rendahnya investasi di sektor ini membatasi kapasitas Indonesia untuk mengembangkan teknologi dan solusi dalam negeri yang disesuaikan dengan tantangan dan tantangan yang ada. kemungkinan.

Untuk bertransisi ke negara maju, Indonesia harus merangkul dan mengembangkan ekonomi inovatif. Pemerintah harus memprioritaskan penelitian dan pengembangan serta mendorong inovasi secara efektif. Hal ini karena inovasi berperan sebagai pendorong penting pertumbuhan ekonomi, produktivitas, dan daya saing di kancah global.

Negara-negara yang telah berhasil melakukan transisi ke negara berpendapatan tinggi, seperti Korea Selatan dan Singapura, telah banyak berinvestasi dalam menciptakan lingkungan yang ramah terhadap inovasi, dengan sistem dukungan yang kuat bagi lembaga penelitian dan kolaborasi yang kuat antara akademisi dan industri.

Tantangan 'pengurasan otak'

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dalam membangun perekonomian inovatif adalah fenomena brain drain. Banyak pemikir terbaik Indonesia yang memilih untuk tinggal di luar negeri setelah menyelesaikan studinya karena kurangnya ekosistem penelitian yang memadai di Indonesia.

Statistik terbaru mengungkapkan bahwa hampir 4.000 orang Indonesia, sebagian besar pelajar berusia 25 hingga 35 tahun, mendapatkan kewarganegaraan Singapura antara tahun 2019 dan 2022.

Tren ini menunjukkan adanya daya tarik terhadap peluang kerja yang lebih baik dan gaji yang lebih tinggi di luar negeri. Pada tahun 2018, gaji bulanan tertinggi bagi lulusan baru di Indonesia adalah sekitar $307 (Rs 4,6 juta), sedangkan lulusan di Singapura memperoleh $2090 (Rs 32 juta).

Hal ini membuat Indonesia kehilangan tenaga profesional terampil yang dibutuhkan untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Untuk membalikkan tren ini, pemerintah perlu memperkuat universitas dan lembaga penelitian dalam negeri. Dengan mengalihkan dana LPDP untuk memperkuat infrastruktur penelitian di perguruan tinggi dalam negeri, Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi penelitian inovatif dan kolaboratif yang mendukung tujuan pembangunan nasional.

Investasi memperluas akses

Berinvestasi pada perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya memperkuat ekosistem inovasi negara, namun juga memperluas akses terhadap pendidikan tinggi bagi masyarakat umum.

Saat ini, hanya 36% penduduk Indonesia berusia 19-23 tahun yang terdaftar di perguruan tinggi – tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, yang angka partisipasinya melebihi 50%.

Akses yang lebih luas terhadap pendidikan tinggi yang berkualitas sangat penting bagi pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia. Tenaga kerja yang lebih terdidik akan lebih siap mendorong inovasi, meningkatkan produktivitas, dan bersaing dalam perekonomian global.

Selain itu, dengan menjadikan pendidikan tinggi lebih terjangkau dan mudah diakses di dalam negeri, Indonesia dapat mengurangi beban ekonomi keluarga dan pemerintah yang menghabiskan banyak biaya untuk belajar di luar negeri.

Perlunya reorientasi kebijakan di era Prabovo

LPDP telah berperan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia. Secara kumulatif pada tahun 2013 hingga tahun 2022, jumlah penerima beasiswa LPDP mencapai 35.536 orang.

Namun, pemerintahan Prabov harus memikirkan kembali strategi pengelolaan dana pendidikan ini. Dengan mengalihkan fokus ke universitas dalam negeri dan memelihara ekosistem inovasi yang dinamis, Indonesia dapat meletakkan dasar bagi perekonomian yang lebih kompetitif dan tangguh.

Reorientasi kebijakan ini akan memastikan bahwa manfaat investasi di bidang pendidikan dan penelitian dapat dirasakan sepenuhnya di dalam negeri, sehingga berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi jangka panjang dan posisi Indonesia di kancah global.

Dengan memperkuat kelembagaan dalam negeri dan memberikan insentif penelitian dan pengembangan, Indonesia dapat bertransformasi menjadi pusat inovasi dan kreativitas yang tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan namun juga meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.

negaraku

negaraku indonesia

indonesia negaraku

indonesia

Artikel Populer